Lebaran tahun ini, seperti biasanya, datang dengan gegap gempita: suara takbir, aroma opor dan ketupat, lalu tentu saja, keramaian. Keluarga besar berkumpul.
Wajah-wajah lama kembali muncul, saling menyapa, berpelukan, dan bertukar kabar. Tapi di balik keceriaan itu, ada hal yang jarang dibahas dengan jujur, yakni: energi sosial yang terkuras.
Ya, social energy memang tak terlihat tapi sangat terasa. Bagaimana lebaran kemarin? Seru, tentunya.
Ada tawa, pelukan, dan nostalgia. Tapi juga melelahkan. Bukan karena perjalanan mudik atau padatnya jadwal silaturahmi, melainkan karena intensitas sosial yang bertubi-tubi.
Rasanya seperti membuka pintu lebar-lebar untuk semua orang masuk ke ruang batin kita. Ada juga situasi ketika tidak semua orang datang dengan energi yang sama.
Saat kumpul keluarga kemarin, ada kesadaran bahwa tak semua orang memberikan efek yang sama. Ada yang begitu menyenangkan diajak bicara, membuat obrolan terasa ringan tapi bermakna.
Mereka ini seperti booster, yang hadirnya justru menyuntikkan semangat. Tapi ada juga yang kehadirannya seperti drainer. Yang tipe kedua ini juga mengajak bicara, tapi isinya membandingkan, mengkritik, atau sekadar basa-basi tanpa arah yang bikin lelah.
Rasanya seperti duduk di meja yang salah, tapi tak bisa pindah karena ini acara keluarga. Ada rasa canggung, tak enak hati, tapi harus tersenyum.
Pertemuan dengan sanak saudara memang selalu penuh kejutan. Ada yang membuat hati hangat karena sudah lama tak bertemu, tapi ada pula yang bikin kita ingin cepat-cepat kembali ke kamar.
Kita semua punya pengalaman seperti itu. Ada pertanyaan-pertanyaan yang datangnya seperti peluru. Tidak tajam, tapi bikin sakit di hati: "Kapan nikah?” “Kok belum punya anak?” “Kerja di mana sekarang?” Dan kita pun harus tersenyum, meski dalam hati ingin punya selimut seperti Harry Potter biar bisa menghilang sejenak saja.