Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Krisis Ekonomi Turki: Peringatan bagi Indonesia?

23 Maret 2025   23:38 Diperbarui: 24 Maret 2025   15:17 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FT montage; AFP/Getty Images/Dreamstime

Berita tentang krisis ekonomi di Turki memang mengejutkan orang awam. Namun bagi pengamat ekonomi politik, krisis itu ternyata memiliki akar penyebab pada struktur ekonomi dan politik negeri itu.

Krisis di negara Erdogan itu menunjukkan koneksi erat antara aspek ekonomi dan politik. Saling pengaruh kedua aspek itu yang sekarang menimbulkan krisis.

Dari beberapa berita yang beredar, krisis ekonomi yang melanda Turki di 2025 ternyata berakar pada kebijakan yang tidak tepat. Apalagi ditambah dengan ketidakstabilan politik yang menghancurkan kepercayaan pasar. 

Pasar saham Turki terpaksa dibekukan, matauang lira jatuh ke titik terendah dalam sejarah, dan inflasi meroket. Situasi ini tidak hanya berdampak bagi Turki sendiri, tetapi juga bisa menjadi peringatan bagi negara lain, termasuk Indonesia.  

Penyebab Krisis

Turki sebenarnya sudah menghadapi tekanan ekonomi sejak beberapa tahun terakhir. Meski begitu, krisis kali ini semakin parah akibat gabungan dari instabilitas politik, kebijakan ekonomi yang tidak ortodoks, depresiasi mata uang, dan ketergantungan berlebihan pada modal asing.  

Salah satu pemicu utamanya adalah penangkapan Ekrem Imamoglu, seorang wali kota Istanbul yang juga merupakan rival politik utama Presiden Recep Tayyip Erdogan. Penangkapan ini dilakukan menjelang pemilu, dan banyak pihak menilainya sebagai langkah politik untuk membungkam oposisi. 

Ketidakpastian politik langsung berdampak pada kepercayaan pasar. Investor bereaksi dengan menarik dananya dari pasar saham, menyebabkan IHSG Turki anjlok lebih dari 14% dalam waktu singkat.  

Di sisi lain, kebijakan ekonomi Turki selama ini juga mengundang kritik. Pemerintah bersikeras mempertahankan suku bunga rendah meskipun inflasi terus meningkat. 

Kebijakan ini dianggap bertentangan dengan prinsip ekonomi konvensional. Suku bunga seharusnya dinaikkan untuk mengendalikan inflasi. Akibatnya, harga barang melonjak tajam dan daya beli masyarakat pun turun. Selanjutnya, investor semakin pesimistis terhadap perekonomian negara itu.  

Keadaan semakin memburuk dengan jatuhnya nilai lira yang mencapai titik terendah dalam sejarah. Depresiasi mata uang ini menyebabkan harga barang impor melonjak, yang pada gilirannya memperparah inflasi. 

Bank sentral Turki sebenarnya sudah mencoba meredam gejolak dengan menjual cadangan devisa. Suku bunga juga dinaikkan menjadi 46%, tetapi kepercayaan pasar sudah terlanjur goyah.  

Satu faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah ketergantungan Turki pada modal asing. Dengan defisit transaksi berjalan yang besar, negara ini sangat mengandalkan investasi asing untuk membiayai perekonomiannya. 

Ketika investor asing mulai kehilangan kepercayaan dan menarik modalnya, dampaknya langsung terasa dalam bentuk gejolak di pasar keuangan.  

Pelajaran untuk Indonesia

Apa yang terjadi di Turki seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia. Meskipun kondisi ekonomi kedua negara berbeda, ada beberapa kesamaan yang perlu diwaspadai.  

Pertama, stabilitas politik adalah kunci utama dalam menjaga kepercayaan pasar. Ketidakpastian politik, terutama yang terkait dengan pemilu dan pergantian kepemimpinan, harus dikelola dengan baik. 

Pemerintah sebaiknya memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan sehat, tanpa ada langkah-langkah yang dapat mengganggu stabilitas politik dan menciptakan kekhawatiran di pasar.  

Kedua, kebijakan ekonomi harus konsisten dan berbasis data. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan Turki yang menolak prinsip ekonomi dasar dalam mengelola inflasi. 

Bank Indonesia sebagai bank sentral harus tetap independen dalam menetapkan kebijakan moneter, tanpa tekanan politik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Jika inflasi mulai meningkat, kebijakan yang tepat harus segera diambil untuk mengendalikannya.  

Kesamaan ketiga, menjaga stabilitas mata uang adalah hal yang sangat penting. Rupiah yang stabil diprediksi dapat menjaga harga barang tetap terkendali dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor. 

Jika ada tekanan pada nilai tukar, pemerintah dan bank sentral harus memiliki strategi yang jelas untuk menstabilkannya, baik melalui intervensi pasar maupun kebijakan ekonomi lainnya.  

Lalu, keempat, Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada modal asing. Defisit transaksi berjalan harus dijaga agar tetap dalam batas aman, dan sumber pendanaan domestik harus diperkuat. 

Dengan memiliki ekonomi yang lebih mandiri, Indonesia bisa lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan tidak mudah terguncang oleh arus modal keluar.  

Terakhir, kelima, perlu transparansi dan tata kelola yang baik adalah faktor yang tidak bisa diabaikan. Investor global tidak hanya melihat kondisi ekonomi suatu negara, tetapi juga bagaimana pemerintah mengelola anggaran dan menangani isu-isu seperti korupsi. 

Pemerintah harus terus meningkatkan transparansi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada kepentingan jangka panjang, bukan hanya untuk keuntungan politik sesaat.  

Pengalaman Turki menunjukkan bahwa krisis ekonomi itu bukan sekadar masalah lokal, tetapi juga pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia. Ketidakstabilan politik, kebijakan ekonomi yang tidak tepat, serta kepercayaan pasar yang goyah bisa menjadi pemicu bencana ekonomi. 

Apalagi Indonesia juga pernah mengalami sendiri krisis ekonomi 1997 yang diikuti krisis politik 1998. Memang kondisi ekonomi dan politik Indonesia sekarang diperkirakan berbeda dengan Turki.

Namun mengabaikan keterkaitan ekonomi dan politik bukanlah langkah bijak. Berbagai demostrasi, ketidakpuasan politik, turunnya harga saham bisa saja menjadi faktor penting. 

Indonesia harus belajar dari pengalaman Turki dengan memastikan bahwa kebijakan ekonomi tetap rasional, stabilitas politik terjaga secara demokratis, dan kepercayaan investor tidak terganggu. 

Sumber:

1. https://www.cnbcindonesia.com/research/20250322065047-128-620807/turki-krisis-saham-dibekukan-lira-jatuh-terburuk-dalam-sejarah

2. https://www.cnn.com/2025/03/21/middleeast/turkey-protests-erdogan-mayor-intl-latam/index.html

3. https://www.ft.com/content/5794ed2c-6296-4f04-876e-bbaaa3d1cc30

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun