Keadaan semakin memburuk dengan jatuhnya nilai lira yang mencapai titik terendah dalam sejarah. Depresiasi mata uang ini menyebabkan harga barang impor melonjak, yang pada gilirannya memperparah inflasi.Â
Bank sentral Turki sebenarnya sudah mencoba meredam gejolak dengan menjual cadangan devisa. Suku bunga juga dinaikkan menjadi 46%, tetapi kepercayaan pasar sudah terlanjur goyah. Â
Satu faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah ketergantungan Turki pada modal asing. Dengan defisit transaksi berjalan yang besar, negara ini sangat mengandalkan investasi asing untuk membiayai perekonomiannya.Â
Ketika investor asing mulai kehilangan kepercayaan dan menarik modalnya, dampaknya langsung terasa dalam bentuk gejolak di pasar keuangan. Â
Pelajaran untuk Indonesia
Apa yang terjadi di Turki seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia. Meskipun kondisi ekonomi kedua negara berbeda, ada beberapa kesamaan yang perlu diwaspadai. Â
Pertama, stabilitas politik adalah kunci utama dalam menjaga kepercayaan pasar. Ketidakpastian politik, terutama yang terkait dengan pemilu dan pergantian kepemimpinan, harus dikelola dengan baik.Â
Pemerintah sebaiknya memastikan bahwa demokrasi berjalan dengan sehat, tanpa ada langkah-langkah yang dapat mengganggu stabilitas politik dan menciptakan kekhawatiran di pasar. Â
Kedua, kebijakan ekonomi harus konsisten dan berbasis data. Indonesia tidak boleh mengulang kesalahan Turki yang menolak prinsip ekonomi dasar dalam mengelola inflasi.Â
Bank Indonesia sebagai bank sentral harus tetap independen dalam menetapkan kebijakan moneter, tanpa tekanan politik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Jika inflasi mulai meningkat, kebijakan yang tepat harus segera diambil untuk mengendalikannya. Â
Kesamaan ketiga, menjaga stabilitas mata uang adalah hal yang sangat penting. Rupiah yang stabil diprediksi dapat menjaga harga barang tetap terkendali dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor.Â