Setiap tahun, Indonesia menyaksikan fenomena mudik yang luar biasa. Jutaan orang bergerak pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran.Â
Tahun 2025 ini, dengan prediksi peningkatan jumlah pemudik sebesar 20%, kesiapan infrastruktur dan fasilitas menjadi sorotan utama. Di tengah hiruk pikuk persiapan mudik, dua orang sahabat berbagi cerita tentang bagaimana kota mereka masing-masing bersiap menyambut gelombang pemudik.
"Jadi gimana persiapan mudik di Jogja, Gon?" tanya mas Dab lewat video call dari Surabaya, sambil menyeruput kopi pagi. Layar menampilkan wajah mas Gondhez yang sedang duduk di angkringan dekat Malioboro.
"Lumayan sih Dab," jawab mas Gondhez. "Pemkot kayaknya mulai gerak dari jauh-jauh hari. Terminal ngGiwangan dibenahi total, dari toilet sampai mushola. Yang menarik, mereka bikin command center khusus mudik. Sistem digital itu bisa buat mantau arus mudik secara real-time."
Mas Dab mengangguk. "Elok tenan itu. Di Surabaya juga ini. Terminal bis Purabaya konon udah di-upgrade. Ada sistem informasi digital, jadi pemudik bisa cek jadwal bus langsung dari HP. Parkiran juga diperluas. Malahan ada area khusus buat motor yang mau dititipin selama mudik."
"Tapi ketok-nya," mas Gondhez menyela sambil mencomot gorengan, "tahun ini bakal banyak pemudik pindah ke kereta. Teman yang punya bisnis toko di stasiun Tugu crita tiket kereta sudah full booking sampai H+3 Lebaran. KAI biasanya nambah gerbong di semua rute populer."
"Iya, sama juga di sini," sahut mas Dab. "Stasiun Gubeng malah bikin sistem antrean digital. Pemudik tinggal scan QR Code, nanti dapet notifikasi waktu check-in. Tahun lalu juga ada face detection. Ndak perlu suk-suk'an alias desak-desakan lagi."
Mas Gondhez menggeser kameranya, menunjukkan aktivitas di Malioboro. "Nih, di Jogja yang unik. PKL sama hotel-hotel sepanjang jalur mudik didata ulang. Ada aturan khusus soal jam operasional sama kebersihan. Katanya biar pemudik nyaman pas transit."
Baku pamer fasilitas buat pemudik masih berlangsung. Mbak El, istri mas Dab, menyela mau pamit belanja di warung depan gardu perumahan.
"Di Surabaya malah ada yang lebih canggih," mas Dab tersenyum. "Pemkot bikin aplikasi khusus mudik. Isinya info real-time soal kondisi jalan, tempat istirahat, bengkel, sama rumah makan yang buka 24 jam. Ada juga fitur panic button kalo pas ada emergency."
"Wah keren tuh. Di Jogja lebih fokus ke rest area sih," jawab mas Gondhez. "Mereka reaktivasi bangunan-bangunan kosong di pinggir jalan buat tempat istirahat sementara. Lengkap dengan toilet, mushola, sama tempat charge HP."
"Soal rest area," mas Dab menambahkan, "di jalur Pantura menuju Surabaya sekarang kabarnya tiap 50 kilometer ada pos kesehatan. Kerjasama Dishub sama PMI. Bagus sih, soalnua tahun lalu banyak pemudik kolaps di jalan."
Mas Gondhez meneguk wedang ronde-nya. "Yang aku apresiasi di Jogja, pemkot melibatkan komunitas. RT/RW diminta siapkan posko mudik mini. Ada yang nyediakan takjil gratis. ada yang nyiapkan bantuan kalo-kalo ada motor mogok."
"Oh iya, soal komunitas," mas Dab menimpali, "di Surabaya, ada gerakan 'Rumahku Rumahmu'. Warga yang rumahnya di jalur mudik boleh didaftar jadi tempat transit darurat. Kalau ada pemudik butuh istirahat mendadak atau motornya rusak."
"Wah inisiatf menarik itu," komentar mas Gondhez. "Lha kalo prediksi pemudik tahun ini naik 20% kan, apa sudah siap infrastrukturnya ya?"
"Ya semoga saja," mas Dab menghela napas. "Jalur tol baru udah operasi, bypass juga udah dibuka. Tapi tetep aja, namanya mudik pasti ada aja kendalanya."
"Yang penting prosesnya lebih manusiawi ya," mas Gondhez menyimpulkan. "Mudik kan bukan cuma soal pulang kampung, tapi juga soal martabat pemudik sebagai manusia."
Video call berakhir ketika azan dhuhur berkumandang. Dua sahabat di dua kota berbeda, sama-sama berharap mudik tahun ini lebih bermartabat.Â
Karena bagaimanapun, mudik bukan sekadar tradisi. Ini soal bagaimana sebuah bangsa menghargai perjalanan pulang warganya.
Di Surabaya, mas Dab menutup laptopnya, bersiap survei jalur mudik. Di Jogja, mas Gondhez membayar wedang rondenya, melangkah menuju Stasiun Tugu untuk memantau persiapan.Â
Keduanya tahu, kenyamanan pemudik adalah cermin peradaban sebuah kota.Â
Percakapan dua sahabat ini menyingkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar laporan kesiapan infrastruktur mudik. Ini adalah kisah tentang bagaimana kota-kota di Indonesia perlahan bertransformasi, menggabungkan teknologi modern dengan nilai-nilai gotong royong tradisional untuk melayani warganya.Â
Dari aplikasi digital hingga pos warga, dari sistem tracking real-time hingga wedang ronde gratis, semua ini menunjukkan bahwa mudik bukan hanya tentang pulang kampung.Â
Tapi juga soal bagaimana sebuah bangsa belajar menghargai perjalanan spiritual tahunan warganya dengan cara yang semakin manusiawi dan bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI