"Wah keren tuh. Di Jogja lebih fokus ke rest area sih," jawab mas Gondhez. "Mereka reaktivasi bangunan-bangunan kosong di pinggir jalan buat tempat istirahat sementara. Lengkap dengan toilet, mushola, sama tempat charge HP."
"Soal rest area," mas Dab menambahkan, "di jalur Pantura menuju Surabaya sekarang kabarnya tiap 50 kilometer ada pos kesehatan. Kerjasama Dishub sama PMI. Bagus sih, soalnua tahun lalu banyak pemudik kolaps di jalan."
Mas Gondhez meneguk wedang ronde-nya. "Yang aku apresiasi di Jogja, pemkot melibatkan komunitas. RT/RW diminta siapkan posko mudik mini. Ada yang nyediakan takjil gratis. ada yang nyiapkan bantuan kalo-kalo ada motor mogok."
"Oh iya, soal komunitas," mas Dab menimpali, "di Surabaya, ada gerakan 'Rumahku Rumahmu'. Warga yang rumahnya di jalur mudik boleh didaftar jadi tempat transit darurat. Kalau ada pemudik butuh istirahat mendadak atau motornya rusak."
"Wah inisiatf menarik itu," komentar mas Gondhez. "Lha kalo prediksi pemudik tahun ini naik 20% kan, apa sudah siap infrastrukturnya ya?"
"Ya semoga saja," mas Dab menghela napas. "Jalur tol baru udah operasi, bypass juga udah dibuka. Tapi tetep aja, namanya mudik pasti ada aja kendalanya."
"Yang penting prosesnya lebih manusiawi ya," mas Gondhez menyimpulkan. "Mudik kan bukan cuma soal pulang kampung, tapi juga soal martabat pemudik sebagai manusia."
Video call berakhir ketika azan dhuhur berkumandang. Dua sahabat di dua kota berbeda, sama-sama berharap mudik tahun ini lebih bermartabat.Â
Karena bagaimanapun, mudik bukan sekadar tradisi. Ini soal bagaimana sebuah bangsa menghargai perjalanan pulang warganya.
Di Surabaya, mas Dab menutup laptopnya, bersiap survei jalur mudik. Di Jogja, mas Gondhez membayar wedang rondenya, melangkah menuju Stasiun Tugu untuk memantau persiapan.Â
Keduanya tahu, kenyamanan pemudik adalah cermin peradaban sebuah kota.Â