Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Memahami Metaverse yang Menjengkelkan

28 Desember 2021   14:46 Diperbarui: 1 Januari 2022   03:15 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi konsep metaverse. (sumber: facebook-corp via kompas.com)

Demi menanggapi topik pilihan (topil) Kompasiana, maka metaverse menjadi salah satu sasaran menarik untuk ditulis di akhir tahun ini. Tidak mudah menuliskan definisi sederhana mengenai metaverse bagi kumpulan manusia seksi alias seket luwih sithik atau berusia lima puluh lebih sedikit. 

Mereka ini adalah kumpulan orang-orang di awal internet berkembang menjelang tahun 2000, apalagi seorang dosen jaman dulu (jadul) seperti saya:)

Pada saat itu hanya ada eudoramail, yahoomail, juga rocketmail, dan semacamnya. Hape hanya berfungsi untuk menelepon dan berkirim pesan singkat. 

Nokia menjadi merek HP paling dominan dengan menyisakan ceruk kecil untuk merek Samsung, LG, dan yang lainnya. HP dari China seperti Xiaomi, Oppo dan sejenisnya belum muncul ketika itu. 

Belum ada juga facebook, instagram, twitter, apalagi tiktok. Tiba-tiba saja, 20 tahun kemudian muncul berita menghebohkan soal Metaverse.

Soal metaverse, maka pertanyaannya adalah metaverse itu binatang apa? Pemakaian kata 'binatang' itu sekedar untuk dramatisasi hiperbolik, bukan berarti bahwa metaverse itu binatang. 

Pemakaian kata 'binatang' juga bisa dianggap sebagai representasi betapa menjengkelkannya istilah metaverse itu, sehingga menjadi menarik ---harapannya--- jika metaverse itu di-binatang-kan. 

Sifat menjengkelkan bukan selalu berkonotasi negatif, namun bisa pula karena kita harus mencari-cari penjelasan yang mudah dimengerti sebagai akibat dari menjengkelkan itu.  

Betapa menjengkelkannya metaverse itu disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. 

Pertama, metaverse itu sebenarnya belum ada!!! What the fact? Saya pakai fact lho, bukan ya 'f' itu...hehehe... Kenyataan apa itu? Itu adalah kenyataan yang masih direka-reka. 

Hingga akhir tahun ini, metaverse itu belum ada. Mas Mark Zuckerberg si pemilik Facebook itu mengubah nama barangnya itu menjadi Meta demi menjembatani ambisi investasi 10 billion dolarnya di Meta itu. 

Angka itu senilai kurang lebih setara 140 trilyun Rupiah!!! Bayangkan uang sebanyak itu digelontorkan untuk sesuatu yang belum ada, namun sudah direka-reka.

Karena belum ada, maka mencari pemahaman tentang Metaverse itu seolah php saja. Belum ada. Masih direka-reka. Kata-kata itu seolah obat mujarab untuk menjawab apa itu bentuk kongkrit dari Metaverse. 

Padahal si mas Mark itu dan kawan-kawan dari dunia digital sudah berlomba-loma menanamkan uangnya hingga ratusan trilyun Rupiah di metaverse. 

Kabarnya merek-merek terkenal juga sudah membeli space untuk toko dan iklan digital, serta membuat-menjual produk digital yang merupakan twin-nya yang di dunia nyata.

Kedua, bentuk dari rekaan kenyataan atau dunia itu adalah digital yang berdimensi tiga. Bukan yang dua, apalagi satu dimensi itu. 

Ibarat film, maka film-nya bukan film kartun jadul seperti Tom and Jerry dan yang sejamannya yang berdimensi satu itu. Yang dua dimensi digital dan hampir mendekati adalah aplikasi-aplikasi semacam Roblox. 

Namun demikian, film atau aplikasi semacam Roblox itu masih berada di luar kita. Roblox, misalnya, masih menggunakan gadget handphone atau tablet atau komputer. Film-film itu masih menggunakan layar televisi atau bioskop. 

Sedangkan metaverse menggunakan alat virtual reality (VR) atau oculus (produknya Google) yang menyerupai kacamata. 

Melalui VR itu, kita dapat memiliki pengalaman langsung berada di dunia Meta itu. Ketika saya tanyakan ke anak saya soal metaverse itu serupa dengan film-film Matrix atau Avatar. 

Jawabannya bukan, beda. Lho...?!? Kedua film itu soal consiuousness. Kesadaran mengenai khayalan orang-orang yang dimasukkan ke tabung di film Avatar atau kepala-nya disetrum memakai kabel-kabel. Metaverse bukan seperti itu karena hanya memakai kacamata virtual. 

hackernoon.com
hackernoon.com

Faktor ketiga yang bikin lebih jengkel lagi adalah betapa hebohnya dunia ini dengan metaverse. Seolah-olah tahun 2022 adalah tahun Metaverse, padahal masih ada pandemi Covid-19 dengan varian Omicronnya dan ketegangan keamanan antara AS-China di Indo-Pasifik. 

Hebohnya metaverse adalah hebohnya dunia bisnis, khususnya bisnis digital. Bagi bisnis masa depan, maka dunia digital menawarkan cuan melimpah ruah lewat metaverse ini. 

Bayangkan saja jamaah Facebook yang sudah mencapai angka lebih dari 2 miyar itu bakal mempunyai kapling 'tanah' digital di metaverse. 

Seandainya mereka semua bermigrasi secara sukarela ---atau dengan paksaan mas Mark--- ke Metaverse, maka dunia rekaan itu akan menawarkan banyak kesempatan bisnis. Cukup memasang satu iklan, namun berpotensi dilihat pasar sebanyak 250 juga tanpa batasan otoritas dan aturan berbeda dari negara. 

Bagi orang kebanyakan, seperti saya, metaverse dapat dianggap sebagai sebuah fase semata dari perkembangan teknologi digital. Ada banyak kesempatan,namun sebaliknya juga ada banyak risikonya. 

Risiko atau potensi bahaya atau aspek negatif dari metaverse ini secara logika serupa dengan perkembangan hape atau media sosial melalui aplikasi whatsapp dan sejenisnya.

Keengganan masuk ke metaverse bisa memuncak ketika ada biaya atau harga yang dikeluarkan dalam bentuk bitcoin yang namanya macam-macam. 

Pada saat ini platform itu ada beberapa yang populer, misalnya Roblox dan Decentraland, yang kabarnya masih terpisah-pisah. Nah, metaverse itu direka sebagai platform pemersatu yang mampu menghubungkan macam-macam platform itu.

Lalu, pertanyaan selanjutnya: apakah kita semua harus bermigrasi ke metaverse? Ini sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing individu. Saya sendiri akan mencoba mengikuti perkembangan teknologi ini dan mengaitkannya dengan perkembangan global di bidang saya. 

Konon, pemilik modal mulai berduyun-duyun mengeluarkan uang tidak sedikit demi mengapling lokasi premium lahan digital. Hebohnya lagi, negara seperti Barbados dan kota Seoul ikut terhpnotis membangun kedubes dan balai kota virtual.

Sebagaimana internet menawarkan banyak pendidikan jarak jauh secara gratis atau lebih murah, maka metaverse diharapkan memiliki pengaruh pada kemudahan akses pendidikan. 

Bayangkan jika kampus Harvard hadir di metaverse dan menawarkan kemudahan bagi calon mahasiswa-nya. Kehadiran kampus itu di metaverse tentu saja sangat ditunggu masyarakat internasional untuk mengenai perbedaannya dengan kampus nyata-nya.

Jadi migrasi ke metaverse seperlunya saja, setidaknya pernah mengalami 'kenyataan rekaan' di metaverse menjadi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Selama itu menguntungkan, maka metaverse menjadi pilihan menarik untuk memahami perkembangan teknologi.

Akhir kata, ulasan ini adalah terjemahan seorang dosen jadul mengenai metaverse yang menjengkelkan. Gambaran itu dan contohnya bisa saja salah, jadi mohon maaf juga. 

Para pembaca tentu saja dapat memiliki gambaran lain yang lebih benar dan komprehensif mengenai metaverse itu mengingat dunia rekaan itu belum ada atau masih pada fase paling awal.

Selamat datang metaverse!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun