Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Itu Tidak Sia-sia

26 Maret 2016   12:19 Diperbarui: 26 Maret 2016   12:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah langsung memberi komando untuk segera membersihkan pecahan-pecahan piring dan gelas tersebut. Aku dan saudara-saudaraku segera mengambil sapu dan pengki. Begitu kami kembali dan siap melakukan proses pembersihan, Ayah lantas bertanya, “Oh, iya, dimana ibu kalian?”

Baru mau kami mengarahkan telunjuk ke kamar, tiba-tiba sebuah suara memanggilku.

“Mada! Mada!”

Aku tersenyum pada Ayah. “Nah, itu suaranya, Yah.”

Sempat kusaksikan bibir Ayah melengkung sebelum kemudian dia melangkah menuju kamar. Kami pun mengikuti Ayah seperti anak itik yang mengekor induknya. Kami berhenti di bawah kusen pintu kamar. Bukan karena kami kehilangan tenaga untuk lanjut berjalan atau ada paku payung bertebaran di hadapan kami. Sengaja kami diam demi sebuah pemandangan indah dimana seorang ayah menumpahkan rasa rindunya kepada sesosok perempuan yang telah melahirkanku dan ketiga adikku. Suami istri itu berpelukan, erat dan hangat. Sepuluh detik berlalu namun tubuh kedua orang tuaku masih saling terkait. Ayah membungkuk, mengaitkan tangan kekarnya merangkul tubuh ibuku yang masih terduduk di pinggir kasur. Aku cuma bisa nyengir maklum. Ya, namanya juga pertemuan setelah dua tahun terpisah jarak, jadi jangan tanya seberapa menumpuk kerinduan mereka berdua.

Pelukan dua sejoli beranak empat itu usai juga. Ayah lalu mengangkat tangan kirinya, memamerkan sepasang benda putih bersih.


“Lihat, Ma, Papa bawa apa,”

Mereka berpelukan lagi.

“Terima kasih, Pa.” sahut Mamak dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Mamak melanjutkan, “Maaf, Mama tidak ikut menyambut Papa pagi ini. Begitu tahu Papa akan tiba hari ini, Mama jadi terlalu semangat sampai-sampai terlambat tidur tadi malam.”

Ayah tidak berucap apapun. Dia hanya membalas kalimat Mamak dengan senyum dan kecupan di dahi. Halah, hidup di desa dan tinggal di rumah yang lantainya belum berkeramik semua rupanya tidak membatasi kedua orang tua kami untuk bertingkah seperti pasangan yang tinggal di kota besar. Makan masih sering dengan nasi dan tempe tapi panggilannya sudah Mama dan Papa. Hahaha, sudahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun