Mohon tunggu...
Anak Buruh
Anak Buruh Mohon Tunggu... Administrasi - Anak anak pinggir

Anak buruh yang lagi mempertahankan kedaulatannya

Selanjutnya

Tutup

Money

Peluang Usaha di Desa, Pilih Cangkul Apa Kabur?

25 Oktober 2017   22:47 Diperbarui: 10 Juni 2022   10:14 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potensi desa memang selalu menjadi lalapan menarik bila menyangkut perkembangan bidang ekonomi di Indonesia. Desa memiliki peran kontruktif dalam penyediaan hasil sumber daya alam, terutama hasil pertanian yang tidak dihasilkan oleh daerah pemukiman padat penduduk seperti kota kota besar. Kemewahan desa dengan berbagai potensi alam yang dijadikan sumber penghasilan malah diabaikan begitu saja oleh penerus desa, yang cenderung lebih memilih merantau ke ibukota demi mendapati penghasilan yang layak.

Bukanlah anekdot baru, minimnya lapangan pekerjaan yang masuk desa menjadi penyebab sebagian besar masyarakat desa memilih pergi. Mencari sebuah pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan sehari hari. Sebab, Jadi petani bukanlah potensi, gengsi diluar sana menertawai. Jadi peternak, kalah sama tengkulak yang cuma sehari. Ya, begitulah pengaruh teknologi masa kini. Bukan digunakan untuk berkontribusi, malah sibuk mencari sensasi. Sensasi jadi pengangguran.

Minimnya lapangan pekerjaan bukan satu satunya faktor kenapa urbanisasi dan pengangguran di desa masih tinggi. Lahirnya generasi micin yang sering saya dengar akhir akhir ini, kata teman dekat saya adalah salah satu penyebabnya. Entah apa istilah generasi micin mulai naik di panggung informasi, apakah penerus bangsa ini kebanyakan micin? Saya rasa tidak, kawannya garam yang sama sama penyedap rasa asin ini sebagian import kok. Untuk bahasan micin mungkin tidak bahas disini, saya tidak memasukan hal yang ambigu dalam artikel ini. Lagi pula saya bukan pengamat micin.

Pendidikan Masih Sejalan dengan Perkembangan Ekonomi

Penyebab minimnya peluang usaha atau pekerjaan di desa yang saya soroti justru pada arah pendidikan yang tidak terkontrol. Saya bisa mengatakan tidak terkontrol bukan saya mengatakan sistem pendidikan yang sedang berjalan itu keliru melainkan inkonsisten dari organ sampai sel pendidikan itu sendiri. Organ sendiri itu adalah tempat pendidikan dan sel sebagai bentuk kita semua yang beragam.

Organ sebagai Tempat Pendidikan bukanlah gudang penyimpan sementara generasi bangsa untuk berkhayal. Sudah banyak disfungsi organ pendidikan yang dibiarkan, dan perlu diarahkan kembali kepada fungsi sejatinya. Perbaikan organ yang memerlukan asupan nutrisi untuk membangun sel sel pendidikan(generasi bangsa) baru.

Tentang bagian mana yang perlu diperbaiki mari kita renungkan, dari tindakan tindakan rendahan dibawah ini:

  • Menyontek
  • Perploncoan
  • Bullying
  • Mengandalkan LKS
  • Penyampain materi saja
  • Penghafalan saja

Bagian bagian yang perlu diberbaiki

  • Mental
  • Keberanian berpendapat 
  • Metode diskusi dan dialog
  • Kepekaan sosial

Ada hal yang saya garis bawahi di yang memang perlu ditingkatkan yakni kepekaan sosial. Satu hal ini memang tidak diajarkan disekolah secara tersurat kecuali DI pedidikan tinggi. Sebab dua hal didapat di masyarakat bukan disekolah. Jika dua kepekaan sosial tidak diajarkan secara tersurat, saya jadi teringat pahlawan nasional, Tan Malakan yang berkata 

"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka "
Tan Malaka, Madilog

Kenyataan yang diutarakan Tan sudah terjadi sekarang, dimana kaum muda desa enggan memegang cangkul di sawah, mereka memilih menjadi buruh pabrik dikota besar. Kampung halaman ditinggalkan demi menghirup polusi ibukota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun