KOMPASIANA - Di tengah gemuruh perjuangan kemerdekaan Indonesia, nama-nama besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Jenderal Soedirman telah menjadi ikon perlawanan. Namun, di balik sorotan nama-nama itu, ada satu kisah heroik yang jarang terdengar, lahir dari lorong-lorong sekolah teknik, dari tangan-tangan muda penuh semangat. Adalah Tentara Genie Pelajar (TGP).
TGP bukan pasukan biasa. Mereka para pelajar sekolah teknik yang menjelma menjadi pasukan gerilya dengan keahlian militer dan teknis yang mumpuni.
Mereka tahu cara merakit bom, merancang jebakan, membongkar kendaraan musuh, hingga merancang sabotase strategis untuk melumpuhkan musuh. Semua itu dilakukan dengan alat seadanya, dan semangat yang tak pernah padam.
Tahun 1945 menjadi titik awal pembentukan TGP, yang awalnya tumbuh dari kebutuhan pertahanan Kota Surabaya. Namun jejak mereka meluas, termasuk ke Kota Blitar, yang kemudian menjadi salah satu panggung penting perjuangan TGP.
Di Blitar, para anggota TGP tak hanya bertempur. Mereka merancang strategi, merakit senjata rakitan, dan mempersiapkan medan untuk menghambat pasukan Belanda.
Salah satu aksi paling berani adalah operasi bumi hangus, ketika para pelajar ini membakar gedung-gedung vital kota untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda.
Mereka tidak menunggu datangnya bala bantuan. Mereka menciptakan sendiri alat perjuangan mereka. Gudang bahan peledak dirakit dari laboratorium sederhana.
Tank Belanda pun sempat mereka rusak di sekitar Jalan Kelud, menjadi bukti bahwa pengetahuan teknik bisa menjadi senjata perlawanan yang nyata.
Pergerakan TGP tak hanya terkunci di Blitar. Di Pare, Kediri, TGP membentuk Detasemen III yang bermarkas di SMPN 4 Pare. Di sana, sekolah berubah menjadi bengkel perjuangan, tempat lahirnya alat-alat sabotase dan strategi perlawanan baru.
Di Malang Selatan, para pelajar ini bahkan terlibat dalam kontak senjata langsung di wilayah Desa Bodo dan Kebonsari, menggempur pasukan musuh dan berhasil menghancurkan kendaraan militer.
Semua dilakukan tanpa bayaran, tanpa pamrih. Semata demi tanah air yang baru saja lahir.
Sayangnya, sejarah tak selalu mencatat semua yang layak dikenang. Nama TGP kerap tenggelam di balik gemerlapnya kisah PETA atau perlawanan Supriyadi. Padahal, keberanian mereka sama besarnya. Strategi mereka sama pentingnya. Dan pengorbanan mereka sama berharganya.
Kini, di tengah derap kemajuan Kota Blitar, sebuah Monumen TGP berdiri. Sederhana, namun bermakna. Di sinilah markas mereka dulu berdiri. Di sinilah semangat kemerdekaan dibakar oleh para pelajar yang menolak menyerah, bahkan sebelum dewasa.
Setelah perang usai, banyak anggota TGP kembali ke bangku sekolah. Sebagian menjadi insinyur, sebagian menjadi guru, sebagian kembali ke masyarakat sebagai warga biasa. Tapi satu hal yang tak pernah mereka lepaskan, yakni semangat nasionalisme.
TGP yang kemudian dikenang menjadi sebuah nama jalan di Kota Blitar, menunjukkan bahwa perjuangan bukan hanya soal senjata, tapi juga soal ilmu, keberanian, dan kesetiaan pada negeri. Mereka mengajarkan bahwa kemerdekaan dibela bukan hanya oleh tokoh besar, tapi juga oleh pelajar biasa yang memilih untuk tidak tinggal diam.
Di bulan Agustus ini, saat bendera Merah Putih kembali berkibar di setiap sudut kota, kisah TGP di Blitar patut dikenang. Bukan sekadar sebagai catatan sejarah, tapi sebagai pengingat bahwa semangat kemerdekaan hidup dalam setiap anak muda yang berani mengambil peran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI