Di mana pun selalu ada anak yang "nakal" dan suka membully, termasuk di sekolah. Meski pada dasarnya tidak ada anak yang terlahir nakal, karena yang ada hanyalah anak yang terluka (mungkin kapan-kapan kita akan bahas ini jika ada yang berminat).
Homeschooling membuat saya lebih selektif dalam memilih lingkungan anak, termasuk dalam belajar. Tanpa tekanan bullying, tanpa perbandingan dengan teman sekelas, saya yakin, anak bisa tumbuh jadi pembelajar sejati yang percaya diri dan mandiri.Â
Homeschooling kelihatannya menarik. Tapi perlu diketahui, bahwa ini belum tentu cocok untuk semua keluarga lho!
Tak lain dan tak bukan, tentu dibutuhkan komitmen tinggi dari orang tua, fleksibilitas waktu, dan kesiapan mental untuk keluar dari zona nyaman sistem sekolah formal. Apalagi jika orang tua terbentuk dari pendidikan formal, seperti kebanyakan. Ini jadi tantangan tersendiri memang.
Namun, bagi orang tua yang merasa sekolah konvensional terlalu sempit untuk potensi anaknya, homeschooling bisa jadi pilihan yang membebaskan sekaligus menantang.
Jika kondisi saat ini, entah itu pemberitaan media massa dan media sosial maupun realita yang dialami secara langsung, tampaknya kita tidak benar-benar merdeka seperti apa yang kita teriakkan dan gaungkan di bulan ini, setidaknya saya sudah belajar dan berproses untuk memerdekakan pendidikan anak saya melalui homeschooling.
Proses belajar bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja. Tidak terbatas pada satu atau beberapa guru yang ada di sekolah konvensional.Â
Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bagi keluarga kecil saya bukanlah ijazah atau nilai tinggi, tapi anak yang bahagia, percaya diri, dan terus mau belajar sepanjang hidupnya.
Kompasianer berminat menerapkan homeschooling juga buat anak-anak tercinta?