Siapa nih yang sudah mulai pusing ketika sebentar lagi anak-anaknya mulai ujian semester? Apakah Anda salah satunya?
Beberapa hari ini saya melihat sejumlah teman mengunggah story WhatsApp yang berisikan aktivitas mereka mengajari anak yang akan menjalani ujian sekolah.Â
Ada orang tua yang pusing tidak karuan, saat anaknya justru cenderung santai. Ada juga orang tua yang sama santainya dengan anak, perihal ujian sebentar lagi.
Saya sering mendengar pernyataan yang berbunyi demikian, "Buat apa sih ujian itu? Buat apa sih ujian nasional itu?" Mungkin Anda pernah mendengar pernyataan serupa. Atau bahkan mengucapkannya.
Jujur saja, saya pun pernah mengungkapkannya. Dulu pada waktu masih duduk di bangku sekolah, saya sering menanyakan ini kepada Mega, teman sebangku sekaligus sahabat saya.
Kenapa sih harus ada ujian sekolah?
Kenapa sih kok ada standar minimum yang harus dinaikkan setiap tahun?
Kenapa sih kok kita harus belajar banyak sekali mata pelajaran setiap minggu? Padahal nanti kalau sudah kuliah hanya dipakai beberapa mata pelajaran saja.
Kenapa anak SMA harus dibeda-bedakan oleh jurusan IPA, IPS, dan bahasa? Bukankah setiap anak itu berbeda dan unik, sehingga memiliki bakat dan kemampuannya masing-masing.
Dan masih banyak kenapa-kenapa yang lain.
Bisa dibilang, berangkat dari berbagai keresahan di atas, saya mulai berhenti mengeluh. Pada saat memiliki anak usia dini, lebih tepatnya. Saya merasa sudah bukan lagi saatnya saya mengeluhkan dan mempertanyakan dunia pendidikan yang begini dan begitu.
Saya sadar, mau mengeluh bagaimana pun, program yang dicanangkan kementerian pendidikan berjalan terus. Pertanyaannya, mau ikut serta atau tidak.
Dan jawaban saya adalah TIDAK.
Ketidaknyamanan dan keresahan dalam dunia pendidikan tak cukup kalau kita hanya mengeluhkan saja, pun mempertanyakan kinerja pemerintah dan guru. Kalau merasa tidak puas dengan sistem yang ada, solusi ya memberikan pendidikan untuk anak sendiri. Tak ada cara lain.
Jadi ketika saya merasa tidak puas dengan sistem pendidikan yang dulu saya peroleh dan belum menemukan sekolah yang cocok untuk anak saya, untuk saat ini saya memilih homeschooling.
Tulisan ini hanya opini pribadi. Bersifat sekadar sharing pengalaman, tanpa bermaksud menyinggung atau pun merendahkan pihak mana pun. Tidak juga mengajak pembaca untuk mengikuti jejak saya.
Bicara tentang sekolah (formal) maupun tidak, sebenarnya itu hanya soal pilihan. Tak jauh berbeda ketika kita memutuskan, mau menyekolahkan anak di sekolah negeri atau swasta, di dalam atau di luar kota, berbasis agama atau nasional saja, seperti itu. Maka, belajar di rumah pun sebenarnya juga pilihan. Saya pernah membahasnya di sini.
Karena anak saya masih usia dini, tentu tidak ada yang namanya ujian. Apalagi anak homeschooling. Namun, bukan berarti homeschooling itu tidak memiliki tantangan. Tetap ada. Kapan-kapan saya akan bahas tantangan ini di tulisan yang lain.
Ketika memutuskan homeschooling menjadi wadah pembelajaran anak, saya bisa menyesuaikan antara materi pelajaran dan kecepatan anak dalam menyerapnya.
Anak tidak perlu terburu-buru menyelesaikan worksheet karena sebentar lagi ada agenda selanjutnya yang sudah menanti. Ketika anak masih suka pembahasan tema tertentu, dia bisa mendalaminya lebih lama.
Bila perlu sampai dia bosan, baru kita berpindah ke materi berikutnya. Biarkan anak fokus pada proses pembelajarannya, bukan pada asal tuntas, beres, selesai.
Ketika anak mendapatkan ruang dan waktu yang leluasa, dia bebas untuk belajar dengan caranya sendiri dengan lebih kreatif dan mandiri.
Anak homeschooling terbiasa untuk mengerjakan proyek dan bereksperimen di waktu-waktu tak terduga. Hari libur dan jam istirahat sudah biasa mereka jadikan kesempatan untuk belajar.
Nah, di sinilah peran orang tua untuk mengamati perkembangan anak di segala aspek, mulai kemampuan berpikir kritis, keterampilan sosial, dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan inilah yang membuat anak belajar memahami dan mengaplikasikan apapun yang sudah mereka pelajari. Bukan sekadar menghafalkan teori, ujian, lalu selesai begitu saja.
Dari sinilah proses pembelajaran dievaluasi. Salah satunya dengan cara orang tua membuatkan portofolio atau refleksi diri sebagai pengganti rapor.
Setelah menjalaninya, ternyata saya menyukai sistem pendidikan informal semacam ini. Anak pun merasa enjoy dalam belajar. Tanpa ada tekanan, tidak mengurangi semangatnya untuk mempelajari dan mengeksplorasi banyak hal di sekelilingnya.
Saya yakin, ketika anak merasa santai dan enjoy dalam proses belajar, ini akan berdampak pada kesehatan mental dan kecerdasannya kelak.
Adakah di antara teman-teman yang juga memutuskan homeschooling buat anak-anaknya? Bolehlah tulis di komentar supaya kita bisa sharing pengalaman :)
Salam hangat,
Sidoarjo, 25 November 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI