Mohon tunggu...
Luana Yunaneva
Luana Yunaneva Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

Professional Hypnotherapist & Trainer BNSP email: Luanayunaneva@gmail.com youtube: www.youtube.com/@luanayunaneva

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tiada Habisnya Nikmati Pesona Indonesia di Taman Hutan Raya Djuanda, Bandung

10 Desember 2018   23:01 Diperbarui: 10 Desember 2018   23:08 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya berfoto di depan Kantor Dinas Kehutanan Balai Pengelolaan Tahura, Pemerintah Provinsi Jawa Barat (foto: Luana Yunaneva)

Berbicara tentang pesona pariwisata Indonesia, tentu tak ada habisnya. Setiap daerah mulai ujung barat hingga timur negeri ini memiliki potensi yang berbeda, sesuai karakteristik masing-masing.

Ya, Bandung merupakan salah satu kawasan dataran tinggi yang memiliki karisma berupa pemandangan hijau dari ketinggian mampu memanjakan seluruh panca indera, baik itu kota maupun kabupatennya. Ibukota Jawa Barat ini seakan tak pernah berhenti menyuguhkan keelokan parasnya. Selain memang daerah ini mendapat karunia dari Tuhan berupa pemandangan alam yang indah, warga Bandung pun seakan tak berhenti berinovasi untuk terus berkembang, terutama dari sektor pariwisata.

Sempat merantau ke kota ini selama hampir dua tahun, menjadikan saya sebagai salah satu saksi keindahannya. Salah satu objek wisata yang tak pernah bosan saya kunjungi adalah Kebun Hutan Raya Ir. H. Djuanda atau lebih dikenal dengan Tahura. Terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Tahura sangat mudah dijangkau wisatawan, termasuk jika menggunakan angkutan umum (angkot).

Namanya juga hutan raya, bisa dipastikan bahwa Tahura sangat teduh, berkat koleksi tanaman di dalamnya. Situs berbagi Wikipedia mencatat, terdapat sekitar 2.500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 spesies. Tidak heran jika wisatawan betah berlama-lama berada di tempat dengan ketinggian antara 770 mdpl sampai 1.330 mdpl ini, entah untuk bersantai, makan maupun berfoto bersama orang-orang tercinta.

Meski begitu, nilai tambah yang dimiliki hutan seluas 590 hektar ini terletak pada sejumlah objek wisata lain di dalamnya. Bisa dikatakan, di dalam objek wisata masih ada objek-objek wisata lain yang bisa dikunjungi dalam sekali jalan atau sekali membeli tiket. 

Sebut saja Museum Ir. H. Djuanda, Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Omas Maribaya, Curug Lalay, Curug Dago, Prasasti Raja Thailand, Tebing Keraton, penangkaran rusa, taman bermain, panggung terbuka, dan forest caf. Namun, untuk bisa menyelesaikan kunjungan ke objek-objek wisata tersebut , secara pribadi, saya tak dapat dilakukan dalam sehari. Oleh karena itu, saya memilih untuk melanjutkan perjalanan di kawasan ini di hari yang berbeda, sekalipun harus membayar tiket lagi.

Saya masih ingat ketika mengunjungi Goa Jepang bersama Dika, teman SMA saat dirinya berlibur ke Bandung. Dari pintu masuk hingga Goa Jepang, saya dan Dika harus berjalan kaki kurang lebih selama satu jam.  Tentu saja diselingi dengan berfoto dan bercanda agar rasa lelah tidak begitu terasa. Naman baru sebentar berada di kawasan tersebut, waktu sudah menunjukkan kalau Dika harus segera kembali ke hotel, untuk selanjutnya bersiap kembali ke Jakarta.

Saya dan Dika berpose di depan Monumen Ir. H. Djuanda yang terletak di bagian tengah Tahura (foto: Luana YUnaneva)
Saya dan Dika berpose di depan Monumen Ir. H. Djuanda yang terletak di bagian tengah Tahura (foto: Luana YUnaneva)
Saya berpose di depan Goa Jepang (Foto: Luana YUnaneva)
Saya berpose di depan Goa Jepang (Foto: Luana YUnaneva)
Setelah Goa Jepang, saya pun berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan ke Goa Belanda. Kali ini saya bersama sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Baptis Bandung (STTBB). Untuk menuju ke tempat ini, kami harus berjalan kaki dulu melewati Goa Jepang. Waktu tempuh dari Goa Jepang menuju Goa Belanda kurang lebih dua hingga tiga jam. Lamanya perjalanan dikarenakan jalanan yang agak becek lantaran hujan yang terjadi beberapa hari sebelumnya serta jalanan yang agak menanjak.

Saya dan para mahasiswa STTBB berpose di depan monumen bertuliskan Goa Belanda di Tahura (foto: Luana Yunaneva)
Saya dan para mahasiswa STTBB berpose di depan monumen bertuliskan Goa Belanda di Tahura (foto: Luana Yunaneva)
Saya dan mahasiswa STTBB berpose di depan Goa Belanda, Tahura (foto: Luana Yunaneva)
Saya dan mahasiswa STTBB berpose di depan Goa Belanda, Tahura (foto: Luana Yunaneva)
Setiba di lokasi, kami tidak melakukan swafoto berlebihan karena aura yang cukup mistis, hehehe. Sekadar tahu, sudah cukuplah bagi saya dan teman-teman. Lalu kami memilih untuk melanjutkan destinasi selanjutnya, yaitu Curug Omas.

Perjalanan menuju Curug Om tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Namun saat itu kami agak dimudahkan berkat cahaya matahari yang membuat tanah lempung yang becek mulai mengeras.

Daaaannnn.... Kami sangat bersyukur ketika rasa lelah kami cukup terbayarkan sesampainya di lokasi. Kami disuguhi pemandangan berupa air terjun atau curug yang masih alami, lengkap dengan pemandangan sekitar yang memanjakan mata. Yang sedikit disayangkan, kami hanya tidak dapat bermain air maupun berendam di Curug Omas tersebut. Namun tak apalah, mungkin kebijakan ini dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat sebagai pihak pengelola untuk menjaga kelestarian objek wisata ini.

Rasa lelah kami terbayarkan setelah tiba di Curug Omas (foto: Luana Yunaneva)
Rasa lelah kami terbayarkan setelah tiba di Curug Omas (foto: Luana Yunaneva)
Meski tak bisa bermain air, kami tetap bisa menikmati keindahan panorama Curug Omas dengan berfoto bersama (foto: Luana Yunaneva)
Meski tak bisa bermain air, kami tetap bisa menikmati keindahan panorama Curug Omas dengan berfoto bersama (foto: Luana Yunaneva)
Sementara itu, objek wisata lain yang masih berada di Kawasan Tahura dan menjadi favorit saya adalah Tebing Keraton. Kalau dari Tahura, Tebing Keraton berada di rute yang sedikit berbeda, yakni kea rah Dago Pakar dengan jalanan yang lebih menanjak. Setelah melalui jalanan beraspal yang menanjak dan menurun, kami harus melewati jalanan berbatu cukup tajam dengan jalanan menanjak. Bisa dibayangkan ketika perjalanan ini harus dilakukan sesudah subuh menggunakan sepeda motor, betapa sulitnya.

Namun lagi-lagi kami mengucap syukur kepada Tuhan karena bisa sampai tujuan dengan selamat dan menyaksikan bukti karya-Nya. Tebing Keraton menyuguhkan panorama kota Bandung yang masih berkabut tebal, sekaligus kehangatan matahari terbit dari balik bukit. Berdiri di tempat ini seakan membuat kami berada di sebuah negeri yang terletak di atas awan. Indah sekali!

Pemandangan matahari terbit di Tebing Keraton (foto: Luana Yunaneva)
Pemandangan matahari terbit di Tebing Keraton (foto: Luana Yunaneva)
Seakan berada di sebuah negeri di atas awan (foto: Luana YUnaneva)
Seakan berada di sebuah negeri di atas awan (foto: Luana YUnaneva)
Bandung baru satu dari banyaknya kota dan kabupaten di Indonesia yang membuat siapapun yang berkunjung ke kawasan ini merasa jatuh hati. Banyaknya potensi wisata alam di Tanah Air inilah yang terus dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui jargon utama "Wonderful Indonesia" atau "Pesona Indonesia". Terbukti, hashtag #wonderfulindonesia dan #pesonaindonesia menjadi seruan netizen untuk mengajak masyarakat Indonesia mencintai negerinya sendiri, terutama dari sektor pariwisata.

WOnderful Indonesia (foto: Indonesia Travel)
WOnderful Indonesia (foto: Indonesia Travel)
Salam, Pesona Indonesia!

Kediri, 10 Desember 2018

Luana Yunaneva

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan untuk Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun