Mohon tunggu...
Unab Bernabas
Unab Bernabas Mohon Tunggu... Mahasiswa

LiberFilosofia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Menjerit, Wakilnya Menikmati

29 Agustus 2025   10:23 Diperbarui: 29 Agustus 2025   10:23 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu kenaikan tunjangan DPR yang baru-baru ini mencuat kembali menjadi tontonan ironis di tengah penderitaan rakyat. Bayangkan, ketika buruh hanya berharap tambahan upah ratusan ribu rupiah, para wakil rakyat dengan santai menikmati tunjangan rumah puluhan juta per bulan. Sementara ibu-ibu di pasar pusing karena harga beras melambung, para legislator justru tersenyum lebar di balik fasilitas negara. Inilah wajah politik kita hari ini: rakyat menjerit, wakilnya menikmati.

Reaksi publik tidak bisa dibendung. Mahasiswa turun ke jalan, buruh berteriak lantang, dan netizen menumpahkan kemarahan di media sosial. Semua geram karena rasa keadilan diinjak-injak. Bukankah wakil rakyat seharusnya menjadi suara bagi mereka yang lemah? Namun kini, suara itu lebih mirip gema di ruang kosong: keras terdengar saat kampanye, tetapi hilang saat sudah berkuasa.

Secara moral, keputusan menaikkan tunjangan di tengah kesulitan rakyat adalah sebuah penghinaan terhadap akal sehat. Aristoteles pernah mengajarkan bahwa keadilan berarti memberikan setiap orang sesuai dengan porsinya. Tetapi di negeri ini, "porsi" wakil rakyat ternyata tak terbatas, sementara rakyat hanya kebagian remah-remah. Tambahan tunjangan DPR jelas bukan demi rakyat, melainkan demi dompet mereka sendiri.

Logika ini semakin absurd jika kita mengingat prinsip keadilan sosial ala John Rawls: ketidaksetaraan hanya bisa diterima jika menguntungkan kelompok paling lemah. Apakah tambahan puluhan juta bagi DPR membantu rakyat miskin? Tentu saja tidak. Justru sebaliknya: rakyat semakin terhimpit, wakil rakyat semakin dimanjakan. Inilah ironi: perwakilan politik yang seharusnya merawat demokrasi justru merusaknya dari dalam.

Lebih dari sekadar angka, ini soal empati yang hilang. Bagaimana mungkin para anggota DPR tega menerima tunjangan besar sementara rakyat masih antre bantuan beras? Bagaimana mereka bisa tertawa lebar di ruang sidang, sementara buruh menangis karena upah tak cukup untuk membayar kontrakan? Apakah hati nurani benar-benar sudah digadaikan di meja kekuasaan?

Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa politik adalah ruang bersama untuk kepentingan publik. Tetapi kini yang kita saksikan adalah politik yang menjelma menjadi arena privat: ruang eksklusif untuk mengurus kenyamanan sendiri, bukan kepentingan rakyat. Ketika politik kehilangan kepekaan, ia hanya menyisakan sirkus privilese yang dipertontonkan di depan mata rakyat miskin.

Dampak politik dari kebijakan ini tidak main-main. Kepercayaan publik terhadap DPR runtuh semakin dalam. Demonstrasi mahasiswa, kritik pedas serikat buruh, hingga kemarahan di jagat maya adalah tanda nyata bahwa legitimasi DPR sedang berada di titik nadir. Demokrasi kita, yang seharusnya dibangun atas dasar kepercayaan, kian rapuh. Bila kondisi ini terus berlanjut, rakyat bisa jadi enggan percaya pada pemilu, enggan mendukung kebijakan, bahkan enggan percaya pada demokrasi itu sendiri. Apatisme politik adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Sesungguhnya, isu ini bukan sekadar soal gaji dan tunjangan. Ini adalah soal moralitas publik yang kian terkikis. Wakil rakyat dipilih bukan untuk hidup mewah, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kenaikan tunjangan di tengah krisis adalah bukti betapa jauhnya DPR dari mandat demokrasi. Rakyat tidak butuh wakil yang sibuk menambah fasilitas, rakyat butuh wakil yang peka, rendah hati, dan rela berkorban.

Kenaikan tunjangan DPR adalah simbol dari politik yang kehilangan nurani. Politik yang kehilangan empati. Politik yang kehilangan rasa malu. Dan ketika politik kehilangan moralitasnya, ia perlahan kehilangan legitimasinya. Jangan salahkan rakyat bila suatu hari nanti mereka juga menutup telinga terhadap suara DPR, sebab rakyat sudah terlalu sering dikhianati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun