Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tutup Tahun 2017, Dengan Menikmati "Sunset" di Rawa Pening

2 Januari 2018   15:28 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:43 1102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru Klinting menancapkan sebuah lidi ke tanah. Ia menantang warga desa Pathok untuk mencabut lidi yang telah ditancapkan di tanah. Tetapi tak seorang warga pun mampu menyabut lidi itu. Akhirnya Baru Klinting mencabut sendiri lidi yang ia tancapkan ke dalam tanah. Seketika muncul mata air yang muncrat dengan deras di tempat lidi yang dicabut.

Tak hanya itu, terdengar suara gemuruh dari muncratnya air itu. Desa Pathok dan warga desanya tenggelam dan terbentuklah Rawa Pening.

Legenda Rawa Pening sarat dengan petuah. Baru Kliniting, seekor naga yang bisa berbicara seperti manusia. Konon, Baru Klinting ini buah hati Endang Sawitri yang tinggal di desa Ngasem. Baru Klinting tumbuh besar dan menginjak usia remaja. Kepada ibunya, Baru Klinting selalu bertanya siapakah ayahnya.

"Ayahmu seorang raja yang kini sedang bertapa di sebuah gua, di lereng Gunung Telomoyo. Ini klintingan peninggalan ayahmu. Pakailah supaya ayahmu percaya bahwa kamu anaknya" kata Endang Sawitri kepada Baru Klinting yang akan mencari ayahnya di pertapaan.

Tiang Pancang Keramba (dokpri)
Tiang Pancang Keramba (dokpri)
Setibanya di pertapaan, Baru Klinting berjumpa dengan Ki Hajar Salokantara, yang tak lain adalah ayanya sendiri. "Selain klintingan, ayah butuh bukti lagi. Coba lingkari Gunung Telomoyo" pinta Ki Hajar Salokantara kepada Baru Klinting.

Karena Baru Klinting seekor naga, maka begitu mudahnya ia melingkari Gunung Telomoyo. Menyaksikan keberhasilan Baru Klinting, ayahnya kemudian minta supaya Baru Klinting ikut bertapa di hutan Telomoyo. Saat bertapa, warga desa Pathok datang berburu hewan untuk acara sedekah bumi atas panenan. Lalu, Baru Klinting, naga besar yang sedsng bertapa dibunuh dan dimasak oleh warga.

Arwah Baru Klinting menjelma menjadi anak kecil yang berpakaian kumal dan mendatangi tempat pesta untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan warga. Tapi oleh warga, anak kecil kumal itu diusir dari tempat pesta. Baru Klinting lalu bertemu dengan nenek yang baik hati memberi tumpangan dan makanan. "Nek, kalau nanti mendengar suara gemuruh, Nenek masuk ke lesung ya. Karena akan terjadi air bah yang akan menenggelamkan desa dan warganya" kata Baru Klinting kepada nenek yang baik hati.

Legenda Rawa Pening itu memberi kekuatan "magis" ketika saya dan saudara-saudara saya naik perahu dari Kalibiru ke Kampoeng Rawa Pening pulang pergi untuk menutup akhir 2017 (31/12). Sore itu, setelah berburu durian di desa Brongkol, kami pergi ke Banyubiru. Setibanya di jembatan berwarna biru di Kalibiru, seorang bapak sedikit berteriak menawarkan wisata naik perahu kepada para pengunjung.

Jembatan Biru Kalibiru (dokpri)
Jembatan Biru Kalibiru (dokpri)
Perahu bermesin 5 PK (dokpri)
Perahu bermesin 5 PK (dokpri)
"Naik Perahu hanya 60 ribu ke spot foto. Satu perahu maksimal 7 penumpang" teriaknya di hadapan kami. Wikan, keponakan saya yang masih kelas 1 SD, sangat pengin sekali naik perahu. Akhirnya kami menyewa perahu. Saya dan saudara-saudara saya kemudian naik perahu yang sudah siap berangkat di pinggir jembatan.

"Pak kalau sampai ke Kampoeng Rawa, bayar berapa?" tanya saya kepada motoris perahu. "120 ribu mas, pulang pergi" jawabnya. Lalu atas kesepaktan bersama kami berperahu hingga Kampoeng Rawa. Saya perkirakan kalau sampai di Kampoeng Rawa, kami bisa menikmati indahnya matahari terbenam dengan langit jingganya yang memerah bercampur biru.

Suara mesin perahu berkekuatan 5 PK menenggelamkan suara obrolan kami. Sempat perahu berhenti untuk mengisi Petramax di salah satu rumah apung penjual bensin. Mesin perahu itu kalau diisi penuh bisa menampung 12 liter minyak. Dengan tenaga 5 PK terasa perahu berlayar dengan kecepatan santai saja. Justru, dengan kecepatan lambat itu, kami bisa menikmati wisata perahu di Rawa Pening dengan nyaman.

Dermaga Kalibiru (dokpri)
Dermaga Kalibiru (dokpri)
Kampoeng Rawa (dokpri)
Kampoeng Rawa (dokpri)
Sembari berlayar menuju Kampoeng Rawa (Rumah makan berkonsep tradisional yang menyajikan aneka hidangan bercitrarasa nusantara), pemandangan alam pegunungan Ungaran, Telomoyo, Andong, Merbabu dari Rawa Pening menjadi indah. Sepanjang perjalanan, tak jarang saya melihat aktivitas warga sedang memberi makan ikan-ikan di keramba-keramba. Beberapa orang terlihat sedang mancing ikan. Enceng gondok yang menjadi tanaman parasit di Rawa Pening masih terlihat bergerombol membentuk sebuah pulau.

Sore menjelang matahari terbenam, tak hanya perahu saya yang mengarungi Rawa Pening. Beberapa kapal terlihat membawa wisatawan baik yang kembali pulang ke dermaga Kalibiru, atau yang sama-sama menuju ke Kampoeng Rawa. Terlihat mereka mengabadikan suasana alam Rawa Pening yang indah dengan kamera dan HP-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun