"Guru yang takut menegur bukanlah tanda guru yang gagal, tapi tanda zaman yang sedang kehilangan arah dalam mendidik."
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh beredarnya foto seorang siswa yang santai merokok di dalam kelas. Di sebelahnya, tampak sang guru duduk dengan ekspresi datar---tanpa teguran, tanpa tindakan.Â
Foto itu diambil di salah satu sekolah di Makassar, dan sang guru, bernama Ambo (51 tahun), kemudian dipanggil ke Dinas Pendidikan untuk memberikan klarifikasi.
Dalam penjelasannya, Ambo mengaku tidak menyangka momen itu akan viral. Ia mengaku hanya menegur siswa tersebut karena menaikkan kaki ke meja, tanpa sadar bahwa muridnya sedang merokok. Ia memang mencium bau asap rokok, namun memilih untuk tidak menegur keras karena khawatir dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Sekilas, kisah ini mungkin tampak sederhana. Namun jika kita mau jujur, di balik foto itu tersimpan realitas yang lebih menakutkan: seorang guru yang takut menegur siswanya.Â
Ini bukan sekadar masalah individu atau peristiwa tunggal, tetapi cermin dari sesuatu yang jauh lebih dalam --- retaknya wibawa moral di ruang kelas kita.
Ruang Kelas yang Kehilangan Wibawa
Ada masa ketika suara langkah guru memasuki kelas sudah cukup untuk membuat murid duduk rapi. Dulu, teguran guru dianggap bentuk kasih sayang; tamparan ringan di tangan disambut dengan penyesalan, bukan laporan ke media sosial.Â
Namun zaman telah berubah. Kini, banyak guru yang justru menimbang-nimbang sebelum bersuara keras kepada muridnya, takut video mereka tersebar, takut dikomentari publik, atau lebih parah---dipolisikan oleh orang tua.
Fenomena menurunnya wibawa guru bukan hanya dirasakan di Makassar, tetapi hampir di seluruh Indonesia.Â