Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hubungan Kesehatan Gigi dengan Kesehatan Mental

16 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   16:30 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi senyum sehat karena gigi sehat. (Sumber: blog.angsamerah.com/Freepik)

Senyum---kata siapa hanya soal estetika? Di balik tawa dan deretan gigi, terkadang tersembunyi kisah rasa malu, kekhawatiran, dan beban batin yang tak kasat mata. 

Pernahkah kamu merasakan enggan berbicara atau tertawa lepas karena takut ada yang memperhatikan gigi ompongmu? Atau mungkin pernah merasa sakit gigi terus-menerus yang membuat mood jadi kacau dan pikiran mudah tertekan?

Ya, kesehatan gigi tidak bisa dipisahkan begitu saja dari kondisi psikologis kita. Banyak orang memperlakukan perawatan gigi hanya sebagai kewajiban estetis---padahal, gigi yang bermasalah bisa mengundang bukan hanya rasa sakit fisik, tapi juga luka emosional yang lama merayap dalam diri. 

Dalam tulisan ini, kita akan menyelami bagaimana gigi yang sehat sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental, dan bagaimana menjaga gigi bisa turut menjaga ketenangan jiwa.

Ketika Gigi Menjadi Beban Batin

Seiring berjalannya waktu, masalah gigi bisa datang perlahan---lubang kecil yang tak terasa, gusi berdarah saat menyikat, hingga gigi goyang yang membuat kita jadi ragu buka mulut. Tapi di balik itu ada lapisan emosional yang sering luput dari perhatian.

Orang dengan kondisi gigi buruk---gigi berlubang parah, banyak gigi yang hilang, atau bau mulut kronis---sering mengalami gangguan kepercayaan diri. Mereka merasa minder saat berbicara dekat-dekat orang, takut senyum lebar, bahkan menahan diri menjalin pertemanan atau asmara. 

Dalam satu tulisan dari American Psychiatric Association dijelaskan bahwa "ketika seseorang punya masalah kesehatan mulut, hal itu bisa mengganggu cara dia makan, berbicara, dan membentuk citra diri, lalu meredam interaksi sosial yang sesungguhnya ingin dijalani." (American Psychiatric Association).

Dan lebih dari itu: jika masalah gigi berlangsung terus-menerus dan dibiarkan, rasa sakit kronis dapat menjadi stressor yang memperburuk suasana hati dan memicu munculnya kecemasan atau depresi. 

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Oral Health, ditemukan bahwa orang dengan gangguan mental umum memiliki tingkat kerusakan gigi (decay) dan kehilangan gigi yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum (PMC).

Ada pula penelitian yang menunjukkan bahwa peradangan kronis di mulut, seperti penyakit gusi, bisa memperburuk kondisi psikologis seseorang, karena peradangan sistemik ini memengaruhi sistem tubuh secara menyeluruh (PMC).

Tidak jarang pula orang mengalami dental anxiety---takut luar biasa pergi ke dokter gigi---yang kemudian membuat mereka menghindar dari perawatan gigi. Ironisnya, pengabaian itu bisa memperburuk kondisi gigi dan pada akhirnya menjebak mereka dalam lingkaran stres, rasa malu, dan rasa sakit (dentalhealth.org).

Seperti yang ditulis dalam PsychiatryOnline, rasa sakit gigi yang kronis bisa menurunkan kadar serotonin, salah satu hormon "penenang" dalam otak, sehingga memperberat upaya mengelola depresi atau kecemasan (Psychiatry Online).

Jadi, ketika gigi menjadi beban fisik dan emosional yang senyap, kita perlu lebih jeli menyimaknya---karena mungkin itu bukan sekadar "masalah gigi" biasa.

Dua Arah: Mental yang Turun, Gigi yang Terabaikan (dan Sebaliknya)

Satu hal penting yang harus dipahami: hubungan antara kesehatan gigi dan kesehatan mental itu dua arah. Tidak hanya gigi bermasalah bisa menyakiti mental kita, tetapi kondisi psikologis yang terganggu (stres, depresi, gangguan kecemasan) bisa membuat kita "lalai" merawat mulut dan gigi.

Misalnya, ketika seseorang berada di fase depresi atau stres berat, motivasi untuk melakukan rutinitas sederhana seperti menyikat gigi atau flossing sering menurun. Aktivitas harian yang dulu mudah dilakukan menjadi terasa berat. 

Dalam laporan CareQuest Institute disebutkan bahwa orang-orang dengan depresi parah lebih dari dua kali kemungkinan tidak menyikat gigi minimal dua kali sehari dibandingkan mereka yang tidak depresi (CareQuest Institute).

Selain itu, sejumlah obat psikiatri dapat memiliki efek samping seperti xerostomia (mulut kering). Hilangnya produksi air liur yang cukup ini membuat mulut kurang terlindungi---plak lebih mudah menempel, gigi lebih mudah terkena karies, dan risiko infeksi mulut meningkat. 

Hal ini turut memperburuk status kesehatan gigi seseorang yang sudah "terganggu." (University of Utah Healthcare).

Di samping itu, kondisi stres dan kecemasan juga bisa memicu kebiasaan tak sehat seperti menggeretakkan gigi (bruxism), atau memakan makanan manis sebagai "pelarian". Semua perilaku itu turut merusak permukaan gigi dan mempercepat kerusakan. (University of Utah Healthcare).

Sebuah penelitian dari jurnal CDC juga menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, akses ke layanan kesehatan) memengaruhi baik mental health maupun oral health secara bersama-sama. Orang dengan posisi sosial ekonomi rendah cenderung punya gejala depresi dan juga lebih sedikit akses ke perawatan gigi (CDC).

Dalam kata lain: mental yang terganggu membuat kita "lelah merawat mulut", dan mulut yang bermasalah membuat mental semakin rapuh. Maka, jika ingin memutus lingkaran ini, kita harus menyentuh kedua sisi secara bersamaan.

Menjaga Kedamaian Jiwa Lewat Senyum Sehat

Jika gigi dan mental berhubungan erat, maka merawat mulut sejatinya bagian dari menjaga kesehatan jiwa. Tapi bukan berarti harus rumit---langkah-langkah sederhana bisa memulai perubahan besar.

Pertama, rawat mulut secara konsisten. Menyikat gigi dua kali sehari, flossing, dan menggunakan obat kumur antibakteri sebenarnya tindakan kecil tapi berpengaruh besar. 

Kalau kamu memiliki kecenderungan stres atau depresi, usahakan jangan melewatkan rutinitas ini meski terasa sulit sekalipun.

Kedua, jadwalkan kontrol gigi secara rutin, bukan hanya ketika sakit. Ketika kamu bisa mencegah kerusakan awal, maka beban perbaikan di masa depan bisa lebih ringan. 

Menurut lembaga kesehatan, hubungan antara kesehatan oral dan kesehatan mental cenderung meningkat ketika perawatan gigi terpadu dengan perawatan kesehatan mental (CDC).

Ketiga, jika kamu memiliki kondisi psikologis (stress berat, kecemasan, depresi), bicarakan dengan dokter atau tenaga kesehatan agar aspek mulut juga diperhatikan. 

Ada pendekatan perawatan kesehatan terpadu yang menyertakan kesehatan gigi dalam perawatan mental (misalnya klinik kesehatan mental yang juga menyediakan layanan dental). University of Utah Healthcare

Keempat, bangun narasi positif terhadap senyum dan kesehatan mulut di masyarakat. Hindari stigma "gigi jelek berarti kurang rapi atau kurang peduli"---karena banyak orang yang terjebak dalam kondisi kompleks yang melewati batas fisik. Dengan cerita positif, kita bisa mendorong orang lain untuk lebih terbuka merawat dirinya sendiri tanpa malu.

Kelima, kalau kamu punya pengalaman unik atau "mitos gigi" dari keluarga/daerahmu, bagikanlah. Kadang mitos itu justru menjadi penghalang orang untuk mencari perawatan yang benar. Hadirkan kisah mitos itu dalam tulisanmu agar orang tercerahkan.

Menyatukan Senyum & Jiwa

Senyum bukan sekadar simbol kebahagiaan. Senyum sehat mengandung makna: tubuh yang dirawat, jiwa yang dihargai. Ketika gigi meradang, bukan hanya enamel yang terluka---batin pun bisa ikut goyah. Sebaliknya, ketika mental rapuh, perawatan mulut bisa jadi korban yang paling mudah diabaikan.

Karena itu, menjaga gigi bukan semata urusan estetika atau pencitraan. Ini adalah bentuk kasih pada diri sendiri---kesadaran bahwa tubuh dan pikiran terhubung, bahwa luka fisik bisa muncul dari ketidakharmonisan batin, dan bahwa merawat satu bagian dari tubuh berarti merawat seluruh manusia.

Jadi, kapan terakhir kamu tersenyum lepas tanpa ragu? Mungkin tulisan ini bisa jadi pemantik agar kita mulai memperhatikan gigi kita---tak hanya supaya bisa mencerahkan senyum orang lain, tetapi agar hati kita pun ikut cerah.

Jika kamu punya cerita gigi dan emosimu sendiri, jangan ragu berbagi. Siapa tahu di balik tulisanmu, ada banyak hati yang merasa "aku tidak sendiri."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun