Peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia (setiap 11 Oktober) mestinya menjadi momentum untuk merayakan kemajuan, harapan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dihadapi anak perempuan di seluruh dunia.Â
Tema global tahun ini, "The Girl I Am, The Change I Lead: Girls on the Frontlines of Crisis", menggambarkan harapan bahwa anak perempuan bukan hanya objek perlindungan, melainkan aktor perubahan dalam menghadapi krisis.Â
Namun kenyataannya di Indonesia, justru pada momen-momen inilah realitas paling suram sering mencuat ke permukaan, memaksakan pembacaan ulang: apakah anak perempuan benar-benar dilibatkan sebagai pemimpin perubahan, atau malah menjadi korban sistemik yang tak tertangani?
Kasus tragis RTA, remaja perempuan 14 tahun yang ditemukan tak bernyawa di belakang gedung TIKI Pejaten, Jakarta Selatan, menjadi simbol ironi ketika publik merayakan hari khusus untuk anak perempuan.Â
Ia dikabarkan baru sebulan bekerja di sebuah spa, dan kematiannya masih dalam penyelidikan forensik kepolisian Metro Jakarta Selatan.Â
Bagaimana mungkin seorang anak sejauh ini bisa bekerja di industri yang rentan? Di mana negara dan masyarakat saat janji-janji perlindungan itu hendak ditegakkan?Â
Tulisan ini mencoba menerjemahkan ironi tersebut ke dalam lapisan realitas sosial, kebijakan, dan budaya --- agar peringatan tidak hanya retorika tapi menjadi cermin sekaligus panggilan kewajiban.
Gelapnya Realitas Anak Perempuan: Antara Eksploitasi dan Kekerasan
Kasus RTA bukanlah sebuah anomali; ia hanyalah salah satu titik dari sebuah peta besar di mana anak perempuan menjadi korban ganda --- sebagai korban kekerasan dan sekaligus sebagai aktor dalam sistem yang mengekspoitasi.Â
Di Indonesia, data menunjuk bahwa kekerasan terhadap anak masih sangat tinggi dan sebagian besar dialami perempuan. Sepanjang 2024 tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, di mana korban perempuan sebanyak 24.999 kasus atau sekitar 86,7 persen dari total laporan (NU Online).Â
Angka ini belum sepenuhnya menggambarkan situasi sesungguhnya, karena laporan hanya mencerminkan kasus yang terkuak --- fenomena gunung es terus menyembunyikan korban di bawah permukaan.