Tidak jarang pula orang mengalami dental anxiety---takut luar biasa pergi ke dokter gigi---yang kemudian membuat mereka menghindar dari perawatan gigi. Ironisnya, pengabaian itu bisa memperburuk kondisi gigi dan pada akhirnya menjebak mereka dalam lingkaran stres, rasa malu, dan rasa sakit (dentalhealth.org).
Seperti yang ditulis dalam PsychiatryOnline, rasa sakit gigi yang kronis bisa menurunkan kadar serotonin, salah satu hormon "penenang" dalam otak, sehingga memperberat upaya mengelola depresi atau kecemasan (Psychiatry Online).
Jadi, ketika gigi menjadi beban fisik dan emosional yang senyap, kita perlu lebih jeli menyimaknya---karena mungkin itu bukan sekadar "masalah gigi" biasa.
Dua Arah: Mental yang Turun, Gigi yang Terabaikan (dan Sebaliknya)
Satu hal penting yang harus dipahami: hubungan antara kesehatan gigi dan kesehatan mental itu dua arah. Tidak hanya gigi bermasalah bisa menyakiti mental kita, tetapi kondisi psikologis yang terganggu (stres, depresi, gangguan kecemasan) bisa membuat kita "lalai" merawat mulut dan gigi.
Misalnya, ketika seseorang berada di fase depresi atau stres berat, motivasi untuk melakukan rutinitas sederhana seperti menyikat gigi atau flossing sering menurun. Aktivitas harian yang dulu mudah dilakukan menjadi terasa berat.Â
Dalam laporan CareQuest Institute disebutkan bahwa orang-orang dengan depresi parah lebih dari dua kali kemungkinan tidak menyikat gigi minimal dua kali sehari dibandingkan mereka yang tidak depresi (CareQuest Institute).
Selain itu, sejumlah obat psikiatri dapat memiliki efek samping seperti xerostomia (mulut kering). Hilangnya produksi air liur yang cukup ini membuat mulut kurang terlindungi---plak lebih mudah menempel, gigi lebih mudah terkena karies, dan risiko infeksi mulut meningkat.Â
Hal ini turut memperburuk status kesehatan gigi seseorang yang sudah "terganggu." (University of Utah Healthcare).
Di samping itu, kondisi stres dan kecemasan juga bisa memicu kebiasaan tak sehat seperti menggeretakkan gigi (bruxism), atau memakan makanan manis sebagai "pelarian". Semua perilaku itu turut merusak permukaan gigi dan mempercepat kerusakan. (University of Utah Healthcare).
Sebuah penelitian dari jurnal CDC juga menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, akses ke layanan kesehatan) memengaruhi baik mental health maupun oral health secara bersama-sama. Orang dengan posisi sosial ekonomi rendah cenderung punya gejala depresi dan juga lebih sedikit akses ke perawatan gigi (CDC).
Dalam kata lain: mental yang terganggu membuat kita "lelah merawat mulut", dan mulut yang bermasalah membuat mental semakin rapuh. Maka, jika ingin memutus lingkaran ini, kita harus menyentuh kedua sisi secara bersamaan.