Jadi, mungkin sudah waktunya kita berhenti memberi jenis kelamin pada teh. Teh tidak perempuan, tidak pula laki-laki. Ia hanya minuman yang menyatukan, menghangatkan, dan memanggil kita untuk duduk bersama, saling mendengar, tanpa hirarki, tanpa peran yang kaku.Â
Karena pada akhirnya, yang membuat secangkir teh terasa hangat bukanlah siapa yang menyeduhnya, melainkan dengan siapa kita memilih untuk menikmatinya.
Referensi:
-
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, 1984.
Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, Harvard University Press, 1984.
Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, Routledge, 1990.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI