Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secangkir Teh dan Jenis Kelamin di Ruang Sosial

10 Oktober 2025   10:00 Diperbarui: 10 Oktober 2025   11:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gambar hasil olah Akal Imitasi (AI)

Kehadiran mereka hadir lewat aroma, bukan suara. Dan di situlah letak persoalannya: mengapa perempuan harus dihadirkan melalui simbol kehangatan, bukan melalui pandangan dan gagasannya?

Namun, tentu situasi ini kini mulai berubah. Banyak perempuan yang hadir bukan hanya sebagai penyaji teh, tapi juga sebagai pembicara dan pengambil keputusan. 

Mereka tidak lagi sekadar bagian dari latar, tetapi juga penentu arah percakapan. Meski begitu, simbol teh tetap melekat, seolah menjadi warisan peran sosial yang belum sepenuhnya ditinggalkan. 

Dalam konteks ini, teh menjadi menarik karena ia bukan hanya minuman, melainkan juga cermin transformasi sosial yang pelan tapi pasti sedang berlangsung.

Ruang Sosial dan Negosiasi Identitas

Jika kita perhatikan lebih jauh, teh tidak lagi sekadar tanda keterikatan perempuan dengan ruang domestik. Ia kini bisa menjadi simbol perlawanan yang lembut. 

Ketika seorang perempuan memilih menyeduh teh untuk dirinya sendiri---bukan untuk menjamu orang lain---ia sedang mengambil alih makna yang dulu dilekatkan padanya. Ia menjadikan teh sebagai ruang pribadi, bukan sekadar alat pelayanan. 

Bahkan, ketika perempuan memilih kopi, itu pun bisa dianggap sebagai pernyataan: bahwa rasa tidak perlu berjenis kelamin.

Di ruang-ruang sosial pedesaan, perubahan ini memang berjalan lambat, tapi nyata. Banyak musyawarah kini dipimpin oleh perempuan, dan mereka tetap menyajikan teh. 

Namun perbedaannya terletak pada posisi: mereka bukan lagi pelayan, tetapi tuan rumah. Dalam satu ruang yang sama, teh tetap hadir, tapi maknanya telah bergeser. Ia tidak lagi menjadi simbol dari peran yang pasif, melainkan bagian dari identitas yang aktif dan otonom.

Sosiolog feminis seperti Judith Butler menyebut bahwa gender bukanlah identitas tetap, melainkan sesuatu yang terus dipertunjukkan melalui tindakan (gender performativity). 

Dalam konteks ini, menyeduh teh atau memilih kopi bisa menjadi bagian dari performa sosial yang merefleksikan bagaimana seseorang memahami dirinya di tengah struktur budaya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun