Kehadiran mereka hadir lewat aroma, bukan suara. Dan di situlah letak persoalannya: mengapa perempuan harus dihadirkan melalui simbol kehangatan, bukan melalui pandangan dan gagasannya?
Namun, tentu situasi ini kini mulai berubah. Banyak perempuan yang hadir bukan hanya sebagai penyaji teh, tapi juga sebagai pembicara dan pengambil keputusan.Â
Mereka tidak lagi sekadar bagian dari latar, tetapi juga penentu arah percakapan. Meski begitu, simbol teh tetap melekat, seolah menjadi warisan peran sosial yang belum sepenuhnya ditinggalkan.Â
Dalam konteks ini, teh menjadi menarik karena ia bukan hanya minuman, melainkan juga cermin transformasi sosial yang pelan tapi pasti sedang berlangsung.
Ruang Sosial dan Negosiasi Identitas
Jika kita perhatikan lebih jauh, teh tidak lagi sekadar tanda keterikatan perempuan dengan ruang domestik. Ia kini bisa menjadi simbol perlawanan yang lembut.Â
Ketika seorang perempuan memilih menyeduh teh untuk dirinya sendiri---bukan untuk menjamu orang lain---ia sedang mengambil alih makna yang dulu dilekatkan padanya. Ia menjadikan teh sebagai ruang pribadi, bukan sekadar alat pelayanan.Â
Bahkan, ketika perempuan memilih kopi, itu pun bisa dianggap sebagai pernyataan: bahwa rasa tidak perlu berjenis kelamin.
Di ruang-ruang sosial pedesaan, perubahan ini memang berjalan lambat, tapi nyata. Banyak musyawarah kini dipimpin oleh perempuan, dan mereka tetap menyajikan teh.Â
Namun perbedaannya terletak pada posisi: mereka bukan lagi pelayan, tetapi tuan rumah. Dalam satu ruang yang sama, teh tetap hadir, tapi maknanya telah bergeser. Ia tidak lagi menjadi simbol dari peran yang pasif, melainkan bagian dari identitas yang aktif dan otonom.
Sosiolog feminis seperti Judith Butler menyebut bahwa gender bukanlah identitas tetap, melainkan sesuatu yang terus dipertunjukkan melalui tindakan (gender performativity).Â
Dalam konteks ini, menyeduh teh atau memilih kopi bisa menjadi bagian dari performa sosial yang merefleksikan bagaimana seseorang memahami dirinya di tengah struktur budaya.Â