Citra ini bukan kebetulan; ia terbentuk dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan dalam ruang domestik, dan menilai kehadirannya dari kemampuan melayani dan menciptakan kenyamanan bagi orang lain.
Budayawan dan antropolog Koentjaraningrat pernah menulis bahwa "perempuan Jawa dianggap sebagai penjaga keseimbangan rumah tangga---bukan dalam arti kekuasaan, melainkan dalam menjaga harmoni" (Koentjaraningrat, 1984). Dalam konteks itu, teh menjadi metafora kecil tentang harmoni yang dijaga oleh perempuan.Â
Teh bukan hanya minuman; ia adalah ekspresi dari nilai-nilai sosial yang menempatkan perempuan sebagai pusat kehangatan, tetapi juga, tanpa disadari, sebagai figur yang harus selalu ada di balik layar.
Sementara itu, kopi---yang juga bagian dari tradisi minum Nusantara---menempati posisi simbolik yang berbeda. Kopi lebih sering diasosiasikan dengan energi, maskulinitas, dan diskusi yang serius.Â
Warung kopi menjadi tempat para lelaki membicarakan politik atau ekonomi, sementara teh menjadi bagian dari ruang-ruang yang lebih tenang, lebih lembut, lebih "perempuan."Â
Dalam perbedaan simbolik ini, kita dapat melihat bahwa bahkan hal sederhana seperti pilihan minuman pun telah terpolarisasi oleh nilai-nilai gender yang hidup di masyarakat.
Ketika Secangkir Teh Berjenis Kelamin
Di titik inilah muncul pertanyaan menarik: apakah teh bisa memiliki jenis kelamin? Tentu saja, secara harfiah, teh tidak punya gender. Tetapi dalam konstruksi sosial, rasa, aroma, dan cara penyajiannya sering kali dibingkai dengan citra-citra yang berjenis kelamin.Â
Teh menjadi feminin karena ia lembut dan menenangkan; kopi menjadi maskulin karena ia kuat dan pahit. Pemaknaan ini bukan sekadar permainan kata, tetapi bagian dari cara masyarakat membangun simbol-simbol sosialnya.
Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, makanan dan minuman sering kali diberi makna gender. Sosiolog seperti Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) menjelaskan bahwa selera bukanlah sesuatu yang netral; ia dibentuk oleh kelas sosial, budaya, dan nilai-nilai yang diwariskan (Bourdieu, 1984).Â
Dalam konteks lokal, selera terhadap teh atau kopi juga dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat melihat peran laki-laki dan perempuan. Maka tak heran jika seorang perempuan penyuka kopi kadang dianggap "tidak seperti perempuan kebanyakan," atau laki-laki peminum teh dianggap "terlalu lembut." Stereotip ini kecil, tapi mencerminkan bias sosial yang kuat.
Dalam ruang sosial seperti musyawarah kampung, pembagian ini tampak nyata. Perempuan membawa teh, laki-laki berbicara. Teh menjadi bentuk partisipasi perempuan yang simbolik, bukan verbal.Â