Retret membaca menjawab kebutuhan itu. Dengan membaca buku di tempat asal ceritanya, peserta bisa merasakan kedekatan emosional dengan kisah yang mereka baca. Hal ini memberikan efek "immersive" yang jauh lebih kuat daripada sekadar menonton film atau melihat gambar di internet.
Selain itu, retret membaca juga memberi kesempatan bagi pembaca untuk saling bertemu dan berdiskusi. Buku yang biasanya dibaca sendirian, kini menjadi jembatan untuk membangun komunitas. Diskusi yang berlangsung di lokasi cerita membuat pengalaman itu semakin hidup.
Fenomena ini juga sejalan dengan tren global literasi digital seperti BookTok, festival sastra, dan komunitas klub buku. Semua itu menunjukkan bahwa membaca bukan lagi kegiatan individu, tetapi sudah menjadi gaya hidup yang bisa dipamerkan, dibicarakan, dan dirayakan.
Retret membaca juga bisa menjadi solusi bagi mereka yang ingin melakukan digital detox. Dengan tenggelam dalam cerita di tengah suasana baru, wisatawan bisa lepas sejenak dari kebisingan media sosial. Hal ini sekaligus menyehatkan pikiran dan memberi kesempatan untuk fokus.
Akhirnya, retret membaca berhasil memadukan dua kebutuhan manusia modern: keinginan untuk bepergian dan kerinduan untuk memperkaya diri melalui literasi. Inilah yang membuat tren ini begitu diminati.
Potensi Indonesia
Jika retret membaca bisa berkembang pesat di Inggris, mengapa Indonesia tidak bisa menirunya? Indonesia memiliki modal yang bahkan lebih kuat: keragaman budaya, lanskap alam yang indah, dan karya sastra yang diakui dunia.
Ambil contoh novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Cerita tentang anak-anak Belitung ini sudah mendunia, bahkan pernah difilmkan dan mendapat perhatian internasional. Membaca novel itu sambil berkunjung ke sekolah replika di Belitung tentu akan memberikan pengalaman yang lebih hidup.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer juga bisa menjadi basis retret membaca. Membaca Bumi Manusia di rumah Pram di Blora, misalnya, bukan hanya pengalaman literer tetapi juga ziarah sejarah. Tempat-tempat yang pernah menjadi latar perjuangan dan pemikiran Pram bisa dijadikan destinasi yang kaya makna.
Di Sulawesi Selatan, kisah epik La Galigo yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia bisa dijadikan pintu masuk untuk wisata sastra berbasis budaya lokal. Membaca potongan kisahnya di Makassar sambil menyaksikan pentas seni tradisional tentu memberi kesan mendalam.
Indonesia juga punya novel Saman karya Ayu Utami yang berlatar Sumatra Selatan. Retret membaca bisa mengajak peserta menelusuri daerah perkebunan yang menjadi latar novel ini, sambil berdiskusi tentang tema besar yang diangkat, mulai dari feminisme hingga isu sosial-politik.
Festival literasi yang sudah ada di berbagai kota juga bisa menjadi wadah untuk mengembangkan konsep ini. Festival di Makassar, Borobudur, hingga Ubud sudah terbukti mampu menarik perhatian ribuan peserta. Tinggal selangkah lagi untuk menggabungkannya dengan konsep retret membaca yang lebih terstruktur.