Pengalaman ini tidak hanya membuat membaca menjadi lebih menyenangkan, tetapi juga memperluas perspektif. Margerison mengaku selalu pulang dengan semangat baru untuk membaca, sekaligus dengan daftar bacaan yang lebih panjang. Retret membaca juga memberi kesempatan bertemu orang-orang dengan minat yang sama, sehingga kegiatan yang awalnya individual menjadi ritual sosial.
Wright bahkan pernah mengajak peserta menjelajahi reruntuhan Spinalonga di Kreta, yang menjadi inspirasi novel The Island karya Victoria Hislop. Ia juga mengadakan perjalanan ke Monroeville, Alabama, untuk mendalami To Kill a Mockingbird karya Harper Lee. Di Jamaika, ia mengajak pembaca menelusuri tempat-tempat angker yang pernah ditinggali Ian Fleming saat menulis Dr. No.
Tren ini berkembang sangat cepat. Sepanjang 2024, Wright menyelenggarakan tujuh perjalanan. Tahun 2025, ia menawarkan 25 perjalanan dan semuanya ludes terjual hanya dalam 24 jam setelah diumumkan. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap wisata sastra semakin besar.
Data survei dari mesin pencari perjalanan KAYAK pada 2025 juga mendukung tren ini. Hampir setengah wisatawan di Inggris mengaku memilih destinasi perjalanan berdasarkan kesesuaian dengan buku yang sedang mereka baca.Â
Angka ini bahkan meningkat menjadi 60 persen di kalangan milenial. Mereka menganggap liburan bukan hanya sekadar istirahat, tetapi juga bentuk investasi diri.
Berdasarkan laporan Future Market Insights, nilai pasar pariwisata sastra secara global mencapai 2,4 miliar dollar AS pada 2024. Angka ini diproyeksikan naik menjadi 3,3 miliar dollar AS pada 2034 (Travel and Tour, 2025).Â
Artinya, retret membaca bukan sekadar tren sesaat, melainkan sektor baru yang berpotensi besar dalam industri pariwisata dunia.
Mengapa Tren Ini Menarik?
Retret membaca menjadi menarik karena menggabungkan tiga elemen sekaligus: hiburan, edukasi, dan pengalaman budaya. Aktivitas membaca yang biasanya dianggap pasif berubah menjadi kegiatan aktif yang melibatkan interaksi dengan lingkungan nyata.Â
Dengan begitu, wisatawan tidak hanya pulang dengan kenangan, tetapi juga dengan pengalaman intelektual yang lebih kaya.
Di tengah gaya hidup serba cepat, banyak orang mendambakan perjalanan yang lebih bermakna. Generasi milenial dan Gen Z, misalnya, sering disebut sebagai generasi pencari pengalaman.Â
Mereka tidak puas dengan liburan yang hanya menghabiskan uang untuk foto-foto media sosial. Mereka menginginkan liburan yang memberi nilai tambah, baik untuk diri sendiri maupun pemahaman budaya.