Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Diella, Eropa, dan Ilusi Modernitas Albania

23 September 2025   18:08 Diperbarui: 23 September 2025   18:08 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diella, Menteri baru Albania hasil kreasi teknologi kecerdasan buatan. (Sumber: petapixel.com/Freepik).

Minggu lalu, dunia politik dikejutkan oleh pengumuman Perdana Menteri Albania, Edi Rama. Ia memperkenalkan seorang menteri baru yang bukan manusia, melainkan hasil kecerdasan buatan bernama Diella. 

Rama menyebut Diella sebagai simbol era baru pemerintahan, seorang pejabat virtual yang tidak tidur, tidak bisa disuap, dan tidak memiliki kepentingan pribadi.

Langkah ini segera menjadi sorotan media internasional. Wajar saja, sebab inilah pertama kalinya sebuah negara secara resmi menunjuk "menteri" dari kalangan non-manusia. 

Rama bahkan berjanji bahwa kehadiran Diella akan menandai berakhirnya praktik suap, nepotisme, dan intervensi keluarga dalam proyek-proyek pengadaan publik. Dengan kata lain, sebuah pemerintahan yang benar-benar steril dari korupsi.

Janji itu terdengar manis, namun justru menimbulkan pertanyaan besar. Apakah benar sebuah algoritma bisa menjadi solusi bagi korupsi yang telah mengakar selama puluhan tahun di Albania? 

Ataukah ini hanya strategi politik baru, sebuah kemasan modernitas untuk menutupi masalah lama? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita menengok sejarah Albania dan luka lama yang diwariskan oleh masa lalunya.

Albania, Luka Lama, dan Janji Baru

Albania adalah negara kecil di Balkan yang baru lepas dari cengkeraman otoritarianisme pada awal 1990-an. Di bawah rezim komunis Enver Hoxha, negara ini terisolasi dari dunia luar selama hampir setengah abad. 

Ketika komunisme runtuh, Albania mencoba membangun sistem demokrasi, tetapi proses transisi itu jauh dari mulus. Institusi yang lemah, budaya politik tertutup, dan lemahnya supremasi hukum membuka jalan bagi maraknya praktik korupsi.

Transparency International menempatkan Albania di peringkat ke-80 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 dengan skor 42/100 (Transparency International, 2024). 

Angka ini memang sedikit lebih baik dibandingkan awal tahun 2000-an ketika Albania masih berada di papan bawah, tetapi tetap menunjukkan masalah serius yang belum terselesaikan. Praktik nepotisme, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang masih dianggap hal biasa dalam birokrasi maupun politik lokal.

Beberapa skandal besar turut mencoreng wajah politik Albania. Seorang wali kota di Tirana pernah ditahan karena dugaan menerima suap proyek pembangunan. 

Mantan Perdana Menteri Sali Berisha juga dituduh mengatur kontrak pemerintah demi menguntungkan jaringan politiknya. Kasus-kasus seperti ini membuktikan bahwa korupsi bukan hanya perilaku menyimpang individu, tetapi sudah menjadi masalah sistemik.

Dalam konteks inilah Edi Rama mencoba tampil dengan gebrakan besar. Ia memperkenalkan Diella bukan hanya sebagai inovasi teknologi, tetapi juga sebagai simbol keseriusan Albania untuk membersihkan diri dari budaya suap dan kolusi. 

Rama tahu betul bahwa langkah ini akan menarik perhatian dunia, apalagi Albania sedang berupaya menjadi anggota penuh Uni Eropa dalam lima tahun mendatang.

Modernitas, dalam narasi Rama, seolah hadir dalam wujud algoritma. Alih-alih memperkuat lembaga hukum atau meningkatkan transparansi birokrasi, Rama memilih menghadirkan wajah baru yang futuristik: seorang menteri virtual yang dipercaya akan mengeliminasi campur tangan manusia dalam pengadaan publik.

Namun, janji ini menimbulkan tanda tanya besar. Modernitas seperti apakah yang ditawarkan Albania melalui Diella? Apakah benar ini sebuah terobosan, atau justru bentuk baru dari pencitraan politik yang hanya memperindah permukaan?

Diella: Antara Teknologi dan Simbol Politik

Diella digadang-gadang sebagai solusi teknokratis untuk masalah korupsi. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, pemerintah Albania berharap proses pengadaan publik bisa berjalan lebih objektif, transparan, dan bebas dari intervensi politik. 

Diella disebut-sebut tidak mengenal rasa lelah, tidak memerlukan gaji, dan yang terpenting, tidak bisa disuap.

Namun, banyak ahli menegaskan bahwa klaim tersebut terlalu berlebihan. Erjon Curraj, pakar transformasi digital dari Tirana, mengingatkan bahwa AI hanya setransparan dan sebersih data yang dimasukkan ke dalamnya. 

Jika data yang digunakan sudah dimanipulasi sejak awal, maka keputusan yang dihasilkan juga akan cacat (AFP, 22 September 2025). 

Ini berarti, meski Diella tidak bisa menerima amplop, ia tetap bisa melegitimasi keputusan yang korup bila fondasi datanya bermasalah.

Pandangan serupa datang dari Jean-Gabriel Ganascia, ilmuwan komputer sekaligus filsuf asal Prancis. Ia menyebut anggapan bahwa mesin bebas dari bias justru berbahaya. 

Model bahasa besar yang melandasi AI merefleksikan realitas sosial, dan realitas itu penuh dengan bias. Menyerahkan pengambilan keputusan kepada sesuatu yang tidak bisa dilawan berarti membuka ruang baru bagi otoritarianisme digital.

Kritik lain juga muncul terkait akuntabilitas hukum. Jika sebuah kontrak dibatalkan atau dimenangkan karena rekomendasi Diella, siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban? 

Pemerintah Albania memang menyatakan bahwa tanggung jawab akhir tetap berada di tangan Perdana Menteri, namun ini justru memperlihatkan paradoks. Jika keputusan tetap berada di tangan manusia, lalu apa makna menteri virtual itu?

Ada pula aspek politik budaya yang menarik. Diella tidak tampil sebagai avatar anonim, melainkan memakai wajah aktris Albania, Anila Bisha. Keputusan ini jelas bukan kebetulan, melainkan strategi untuk membuat publik merasa lebih dekat dengan inovasi ini. 

Namun, di balik wajah ramah Diella, tersimpan agenda politik Rama untuk membungkus kebijakan dengan sentuhan budaya pop yang lebih mudah diterima masyarakat.

Sejarah juga mencatat bahwa Rama kerap meluncurkan proyek-proyek besar yang lebih banyak berhenti di tingkat simbolis. Misalnya, larangan TikTok yang diumumkan pemerintah tetapi tetap tidak efektif, atau rencana pendirian "Negara Bektashi" ala Vatikan yang hingga kini tak pernah terealisasi. 

Risiko serupa mengintai Diella: sebuah gebrakan yang lebih banyak menghasilkan berita ketimbang hasil nyata.

Pada titik ini, jelas bahwa Diella lebih dari sekadar teknologi. Ia adalah simbol politik yang memadukan modernitas digital dengan pencitraan budaya. Pertanyaannya, apakah simbol ini cukup kuat untuk mengubah realitas?

Ilusi Modernitas: Dari Pencitraan ke Realitas

Pengangkatan Diella seakan-akan ingin menunjukkan bahwa Albania sedang melompat ke masa depan. Namun, di balik wajah digital itu, kita melihat paradoks modernitas. AI diposisikan sebagai jawaban mutlak atas masalah korupsi, padahal realitasnya jauh lebih kompleks.

Modernitas yang ditawarkan Rama lebih mirip kosmetik digital daripada reformasi nyata. Seperti pepatah lama dalam dunia komputer, garbage in, garbage out. Mesin secanggih apa pun tidak bisa menghasilkan keputusan adil bila fondasi datanya rapuh. 

Korupsi tidak serta-merta hilang hanya karena algoritma dilibatkan. Ia hanya berpindah bentuk, dari amplop yang terlihat menjadi manipulasi data yang tak kasat mata.

Kritikus politik Albania, Lutfi Dervishi, menyebut fenomena ini sebagai old corruption, new software. Dengan kata lain, teknologi hanya mengganti wajah, bukan menghapus substansi. Jika sistem penyedia data masih korup, Diella hanya akan memberi legitimasi baru pada praktik lama.

Lebih dari itu, demokrasi sejati bukan sekadar menemukan jawaban benar, tetapi juga menyediakan ruang deliberasi, debat, dan pertanggungjawaban.

Jika semua keputusan pengadaan diserahkan kepada algoritma, publik kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam proses politik. Demokrasi akan tereduksi menjadi sekadar menerima keputusan dari mesin yang bahkan tidak bisa diperdebatkan.

Ilusi modernitas inilah yang patut diwaspadai. Diella mungkin tampak futuristik, tetapi bila dijalankan tanpa transparansi, ia bisa berfungsi seperti topeng. Publik terpesona oleh kecanggihan teknologi, sementara masalah struktural tetap tidak tersentuh.

Dalam konteks ini, modernitas bukan soal hadirnya avatar digital, melainkan keberanian membangun institusi yang kuat, transparan, dan bebas intervensi. Modernitas sejati terletak pada kualitas demokrasi, bukan sekadar hiasan teknologi.

Diella bisa saja menjadi langkah awal reformasi, tetapi juga bisa berakhir sebagai proyek pencitraan yang indah di permukaan, rapuh di dalam. Albania kini berada di persimpangan jalan: menjadikan Diella sebagai simbol perubahan nyata, atau sekadar ilusi yang meninabobokan publik.

Dimensi Eropa: Ujian Regulasi dan Citra

Langkah Albania menghadirkan menteri virtual tidak bisa dilepaskan dari ambisi besar negara itu untuk bergabung dengan Uni Eropa. Rama tahu, citra modernitas sangat penting untuk melicinkan proses aksesi. Menghadirkan Diella berarti menunjukkan pada dunia bahwa Albania siap melompat ke era pemerintahan digital.

Namun, di Eropa sendiri, penggunaan AI dalam sektor publik bukanlah hal sepele. Uni Eropa baru saja mengesahkan EU AI Act, regulasi pertama yang secara komprehensif mengatur penggunaan kecerdasan buatan. 

Sistem AI yang dipakai untuk fungsi publik, apalagi pengadaan, digolongkan sebagai high risk AI systems yang wajib memenuhi standar ketat transparansi, keamanan, dan akuntabilitas (European Parliament, 2024).

Pertanyaannya, apakah Diella memenuhi standar itu? Hingga kini tidak ada kejelasan tentang algoritma yang digunakan, bagaimana data dikumpulkan, dan apakah ada mekanisme audit independen. Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, proyek ini berpotensi berbenturan dengan regulasi Eropa.

Jika Albania serius ingin masuk Uni Eropa, maka Diella bisa menjadi ujian pertama yang menentukan arah masa depan politiknya. Di satu sisi, ia bisa menjadi bukti bahwa Albania benar-benar berbenah. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi contoh bagaimana teknologi hanya dipakai untuk pencitraan politik tanpa reformasi nyata.

Dari perspektif Uni Eropa, integrasi Albania tidak hanya soal ekonomi dan diplomasi, tetapi juga soal nilai-nilai demokrasi dan tata kelola yang baik. Kehadiran Diella yang penuh misteri justru bisa memunculkan keraguan, apakah Albania sungguh siap atau hanya sekadar menampilkan wajah modern untuk menyembunyikan kelemahan internal.

Ironisnya, jika tidak transparan, Diella bisa menempatkan Albania dalam posisi yang lebih sulit. Bukannya mempercepat aksesi ke Uni Eropa, langkah ini bisa dianggap sebagai bukti bahwa negara tersebut masih bermain-main dengan simbol, bukan substansi.

Bagi publik Eropa, proyek Diella juga akan dilihat sebagai eksperimen unik, tetapi sekaligus berisiko. Apakah AI akan memperkuat demokrasi, atau justru melemahkannya? Jawaban atas pertanyaan itu akan memengaruhi cara dunia menilai Albania.

Relevansi bagi Indonesia

Meski terjadi jauh di Balkan, kasus Diella punya relevansi besar bagi Indonesia. Negeri ini masih berjuang melawan korupsi, terutama di sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-99 dari 180 negara pada Indeks Persepsi Korupsi 2024 dengan skor 37/100, lebih buruk dibanding Albania (Transparency International, 2024).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa mayoritas kasus korupsi yang mereka tangani berkaitan dengan proyek pemerintah, mulai dari infrastruktur hingga alat kesehatan. 

Sistem e-procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang sudah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu memang mempersempit ruang suap, tetapi modus korupsi tetap bermunculan. Rekayasa spesifikasi, perusahaan boneka, dan persekongkolan antarpenyedia masih marak ditemukan.

Dalam situasi ini, wacana penggunaan AI untuk mengawasi tender sebenarnya menarik. AI bisa dipakai untuk mendeteksi pola mencurigakan, misalnya perusahaan yang selalu menang di daerah tertentu, harga penawaran yang tidak wajar, atau keterkaitan antara pejabat dengan penyedia barang. 

AI juga bisa menggabungkan data publik, catatan hukum, dan informasi keuangan untuk memberi peringatan dini terhadap potensi konflik kepentingan.

Namun, eksperimen Albania dengan menteri virtual menunjukkan bahwa teknologi bukan solusi ajaib. Tanpa integritas pejabat, transparansi data, dan keberanian menindak pelanggaran, AI hanya akan menjadi alat baru yang bisa dimanipulasi. Bahkan lebih berbahaya, karena manipulasi yang terjadi bisa tersembunyi di balik algoritma yang sulit dipahami publik.

Bagi Indonesia, pelajaran pentingnya adalah menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan penguatan institusi. AI bisa menjadi alat bantu yang efektif, tetapi tetap harus ada manusia yang berintegritas sebagai pengawas utama. Tanpa itu, kita hanya akan memindahkan korupsi dari meja birokrat ke server digital.

Selain itu, demokrasi Indonesia yang sedang berproses tidak boleh kehilangan ruang deliberasi publik. Jika keputusan publik sepenuhnya diambil oleh algoritma, maka ruang kontrol warga akan semakin sempit. Transparansi dan partisipasi masyarakat tetap kunci utama, bahkan ketika teknologi digunakan.

Dengan kata lain, sebelum tergoda untuk mengangkat "Diella versi Indonesia", kita perlu membangun dulu fondasi yang kokoh: lembaga antikorupsi yang kuat, keterbukaan data, dan integritas pejabat publik.

Penutup

Diella menandai momen penting dalam hubungan antara politik dan teknologi. Ia adalah simbol bagaimana kecerdasan buatan dipakai bukan hanya untuk efisiensi birokrasi, tetapi juga untuk pencitraan politik dan ambisi geopolitik.

Namun, janji bahwa Diella akan menjadikan pengadaan publik 100 persen bebas korupsi tampak terlalu muluk. AI bisa membantu mendeteksi pola mencurigakan dan mempercepat analisis dokumen, tetapi pada akhirnya, korupsi adalah masalah politik, budaya, dan institusi.

Modernitas sejati bukanlah soal menghadirkan avatar digital di kabinet, melainkan soal keberanian membangun sistem yang bersih, transparan, dan demokratis. Diella mungkin tidak tidur, tidak bisa disuap, dan tidak punya sepupu, tetapi masa depan pemerintahan yang baik tetap ditentukan oleh manusia yang berani menjaga integritasnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun