Impunitas sering diasosiasikan dengan kejahatan perang: para pelaku pelanggaran HAM yang tidak pernah diadili. Namun, dalam konteks dunia modern, impunitas menjalar jauh melampaui medan perang.Â
Ia hadir juga di dunia digital, ketika penyebaran kebohongan, perundungan, bahkan ujaran kebencian dibiarkan tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) menunjukkan bahwa sejak perang Hamas-Israel pecah pada Oktober 2023, sedikitnya 240 jurnalis tewas di Jalur Gaza. Jumlah ini melebihi korban jurnalis pada Perang Dunia II, Perang Vietnam, maupun konflik Yugoslavia. Sebagian besar kasus ini berakhir tanpa penyelidikan tuntas. Inilah impunitas dalam bentuk paling telanjang: hilangnya nyawa tanpa keadilan.
Namun, impunitas tidak hanya soal kekerasan fisik. Di dunia maya, para penyebar disinformasi sering lolos tanpa hukuman. Meskipun hoaks terbukti menimbulkan kerugian besar---dari perundungan hingga konflik nyata---hanya segelintir kasus yang ditindak.
Contoh ekstrem terlihat dalam kasus Cambridge Analytica. Perusahaan ini memanipulasi data jutaan pengguna Facebook untuk kepentingan politik, termasuk pemilu di Amerika Serikat 2016. Meski perusahaan tersebut ditutup, hampir tidak ada aktor politik besar yang dimintai pertanggungjawaban secara serius. Skandal global berakhir dengan impunitas.
Impunitas digital semakin berbahaya karena sifatnya lintas batas. Pelaku bisa beroperasi dari negara lain, sementara korban tersebar di seluruh dunia. Regulasi nasional sering kali tidak memadai untuk menjerat pelaku. Di sinilah terlihat bahwa impunitas global jauh lebih kompleks daripada sekadar konflik bersenjata.
Bahkan algoritma itu sendiri bisa menjadi bentuk impunitas. Ketika sebuah platform digital menolak bertanggung jawab atas dampak sosial dari algoritmanya, publik menjadi korban tanpa bisa menuntut keadilan. Kekerasan daring, seperti yang dikatakan Maria Ressa, pada akhirnya adalah kekerasan nyata.
Krisis Kebenaran + Impunitas = Ancaman Demokrasi dan Perdamaian
Krisis kebenaran dan impunitas global saling memperkuat dalam sebuah lingkaran berbahaya. Ketika kebenaran melemah, masyarakat kehilangan kepercayaan. Hilangnya kepercayaan membuat institusi hukum, media, dan lembaga internasional tampak tidak relevan. Akibatnya, pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi.
Tanpa kebenaran, demokrasi tidak bisa berjalan. Pemilu hanya menjadi ajang adu propaganda, bukan ajang adu gagasan. Jika publik tidak lagi percaya pada media atau fakta, maka yang tersisa hanyalah narasi yang paling keras bersuara. Demokrasi pun berubah menjadi teater, sementara aktor-aktor otoriter semakin leluasa memanipulasi informasi.
Impunitas dalam dunia digital mempercepat proses ini. Sebuah hoaks yang viral bisa menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan jam, tetapi hampir mustahil dihapus sepenuhnya.Â
Dalam banyak kasus, pembuat hoaks tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Ketika kejahatan informasi tidak dihukum, pesan yang tersampaikan jelas: kebohongan lebih menguntungkan daripada kebenaran.