"Tanpa fakta, tidak ada kebenaran. Tanpa kebenaran, tidak ada saling percaya."Â
Kalimat ini diucapkan Maria Ressa, jurnalis Filipina peraih Nobel Perdamaian 2021, di markas PBB saat peringatan 80 tahun lembaga tersebut pada 22 September 2025. Ucapannya sederhana, tetapi menusuk, karena mencerminkan dunia yang sedang kehilangan pijakan pada kebenaran.
Kita hidup dalam zaman ketika informasi begitu melimpah, tetapi justru semakin sulit menemukan yang benar-benar akurat. Media sosial yang awalnya dianggap sebagai sarana demokratisasi informasi kini berubah menjadi lautan kebisingan.
Hoaks, disinformasi, dan misinformasi menyebar jauh lebih cepat daripada berita yang diverifikasi. Ketika fakta dipertanyakan, kepercayaan publik pada media maupun lembaga internasional ikut terkikis.
Inilah yang disebut sebagai krisis kebenaran. Lebih berbahaya lagi, krisis ini berpadu dengan maraknya impunitas---pembiaran terhadap pelanggaran tanpa sanksi. Kombinasi keduanya bukan hanya melemahkan jurnalisme, tetapi juga mengancam perdamaian dunia.
Definisi dan Manifestasi Krisis Kebenaran
Krisis kebenaran bukan sekadar soal banyaknya hoaks yang beredar. Ia adalah fenomena ketika masyarakat kehilangan pegangan pada otoritas fakta. Dulu, media arus utama dianggap sebagai penjaga kebenaran. Kini, otoritas itu tergeser oleh algoritma media sosial yang lebih mementingkan sensasi dan keterlibatan (engagement) daripada akurasi.
Dalam laporan Reuters Institute for the Study of Journalism (2023), lebih dari 56 persen responden global menyatakan mereka sering kesulitan membedakan berita nyata dan berita palsu. Fenomena ini memperlihatkan bahwa krisis kebenaran bukan hanya isu lokal, melainkan persoalan global.
Lebih parah lagi, publik mulai skeptis terhadap media profesional. Sebagian percaya bahwa media punya agenda tersembunyi. Kondisi ini membuka ruang bagi munculnya "media alternatif" yang tidak berbasis verifikasi, tetapi hanya memproduksi narasi sesuai selera kelompok tertentu. Krisis kebenaran pun kian dalam.
Contoh nyata terlihat di masa pandemi Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut fenomena ini sebagai infodemic: banjir informasi yang justru memperparah kebingungan publik. Hoaks tentang vaksin, obat ajaib, hingga teori konspirasi menyebar luas, memengaruhi kebijakan dan mengancam nyawa banyak orang.
Selain pandemi, krisis kebenaran juga hadir dalam konteks politik. Pemilu di berbagai negara sering diwarnai disinformasi yang sengaja diproduksi untuk menjatuhkan lawan politik. Penelitian dari Oxford Internet Institute (2021) menemukan bahwa lebih dari 81 negara menggunakan strategi manipulasi media sosial untuk tujuan politik. Artinya, krisis kebenaran bukan kebetulan, melainkan hasil rekayasa yang terencana.
Krisis ini menjadi semakin serius ketika algoritma memperkuat bias manusia. Apa yang kita lihat di lini masa media sosial bukanlah kebenaran, melainkan cerminan dari preferensi, prasangka, dan kecenderungan politik kita. Dunia maya membentuk ruang gema (echo chamber) yang memperkuat keyakinan, bukan membuka wawasan.
Impunitas Global: Dari Medan Perang hingga Dunia Digital
Impunitas sering diasosiasikan dengan kejahatan perang: para pelaku pelanggaran HAM yang tidak pernah diadili. Namun, dalam konteks dunia modern, impunitas menjalar jauh melampaui medan perang.Â
Ia hadir juga di dunia digital, ketika penyebaran kebohongan, perundungan, bahkan ujaran kebencian dibiarkan tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) menunjukkan bahwa sejak perang Hamas-Israel pecah pada Oktober 2023, sedikitnya 240 jurnalis tewas di Jalur Gaza. Jumlah ini melebihi korban jurnalis pada Perang Dunia II, Perang Vietnam, maupun konflik Yugoslavia. Sebagian besar kasus ini berakhir tanpa penyelidikan tuntas. Inilah impunitas dalam bentuk paling telanjang: hilangnya nyawa tanpa keadilan.
Namun, impunitas tidak hanya soal kekerasan fisik. Di dunia maya, para penyebar disinformasi sering lolos tanpa hukuman. Meskipun hoaks terbukti menimbulkan kerugian besar---dari perundungan hingga konflik nyata---hanya segelintir kasus yang ditindak.
Contoh ekstrem terlihat dalam kasus Cambridge Analytica. Perusahaan ini memanipulasi data jutaan pengguna Facebook untuk kepentingan politik, termasuk pemilu di Amerika Serikat 2016. Meski perusahaan tersebut ditutup, hampir tidak ada aktor politik besar yang dimintai pertanggungjawaban secara serius. Skandal global berakhir dengan impunitas.
Impunitas digital semakin berbahaya karena sifatnya lintas batas. Pelaku bisa beroperasi dari negara lain, sementara korban tersebar di seluruh dunia. Regulasi nasional sering kali tidak memadai untuk menjerat pelaku. Di sinilah terlihat bahwa impunitas global jauh lebih kompleks daripada sekadar konflik bersenjata.
Bahkan algoritma itu sendiri bisa menjadi bentuk impunitas. Ketika sebuah platform digital menolak bertanggung jawab atas dampak sosial dari algoritmanya, publik menjadi korban tanpa bisa menuntut keadilan. Kekerasan daring, seperti yang dikatakan Maria Ressa, pada akhirnya adalah kekerasan nyata.
Krisis Kebenaran + Impunitas = Ancaman Demokrasi dan Perdamaian
Krisis kebenaran dan impunitas global saling memperkuat dalam sebuah lingkaran berbahaya. Ketika kebenaran melemah, masyarakat kehilangan kepercayaan. Hilangnya kepercayaan membuat institusi hukum, media, dan lembaga internasional tampak tidak relevan. Akibatnya, pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi.
Tanpa kebenaran, demokrasi tidak bisa berjalan. Pemilu hanya menjadi ajang adu propaganda, bukan ajang adu gagasan. Jika publik tidak lagi percaya pada media atau fakta, maka yang tersisa hanyalah narasi yang paling keras bersuara. Demokrasi pun berubah menjadi teater, sementara aktor-aktor otoriter semakin leluasa memanipulasi informasi.
Impunitas dalam dunia digital mempercepat proses ini. Sebuah hoaks yang viral bisa menghancurkan reputasi seseorang dalam hitungan jam, tetapi hampir mustahil dihapus sepenuhnya.Â
Dalam banyak kasus, pembuat hoaks tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Ketika kejahatan informasi tidak dihukum, pesan yang tersampaikan jelas: kebohongan lebih menguntungkan daripada kebenaran.
Ancaman perdamaian pun nyata. Konflik di Myanmar, misalnya, tidak lepas dari penyebaran ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya melalui Facebook.Â
Laporan dari PBB pada 2018 menyebut media sosial memainkan "peran yang menentukan" dalam genosida Rohingya. Tetapi hingga kini, pertanggungjawaban hukum atas penyebaran kebencian itu sangat minim.
Krisis iklim juga terpengaruh. Banyak perusahaan besar dan kelompok kepentingan menyebarkan misinformasi tentang perubahan iklim untuk menunda regulasi.Â
Studi dari Harvard University (2022) menyebut bahwa industri bahan bakar fosil selama puluhan tahun mendanai kampanye disinformasi iklim. Akibatnya, tindakan nyata melawan krisis iklim tertunda, sementara bumi semakin rusak.
Di ranah internasional, absennya kebenaran memperlemah multilateralisme. PBB didirikan setelah Perang Dunia II dengan semangat "tidak ada perang lagi". Namun kini, lembaga itu menghadapi 120 konflik aktif di seluruh dunia (data PBB 2025). Tanpa fondasi kebenaran bersama, bagaimana mungkin dialog bisa menghasilkan perdamaian?
Ketika dunia terjebak dalam krisis kebenaran dan impunitas, kita semua berada di jalan yang berbahaya. Demokrasi merosot, perdamaian goyah, dan masa depan menjadi rapuh.
Harapan dan Jalan Keluar
Meski situasi tampak suram, bukan berarti harapan hilang. Sejarah membuktikan bahwa perubahan mungkin terjadi jika ada kemauan kolektif. Liberia, misalnya, pernah dilanda perang saudara brutal selama bertahun-tahun. Namun dengan dialog, pendidikan, dan dukungan multilateralisme, negara itu perlahan bangkit menuju perdamaian.Â
Ellen Johnson, presiden perempuan pertama Liberia sekaligus penerima Nobel Perdamaian 2011, menegaskan pentingnya kembali pada Piagam PBB dan memilih dialog, bukan pertikaian.
Di era digital, literasi informasi menjadi kunci. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk memilah informasi, memverifikasi sumber, dan tidak serta-merta mempercayai setiap konten yang muncul di media sosial. Inisiatif-inisiatif seperti program cek fakta yang digalakkan oleh berbagai komunitas jurnalis di Indonesia merupakan langkah kecil yang penting.
Selain itu, platform digital perlu dimintai pertanggungjawaban. Selama ini, banyak perusahaan teknologi raksasa berlindung di balik status "penyedia platform" tanpa mau mengakui dampak sosial dari algoritmanya. Regulasi yang lebih tegas, baik di tingkat nasional maupun internasional, diperlukan untuk menutup celah impunitas ini.
Peran AI juga harus diawasi. Takhta Suci Vatikan sudah mengeluarkan pedoman bahwa penggunaan AI harus diawasi oleh manusia demi menjaga martabat kemanusiaan. Jika AI dibiarkan liar tanpa etika, ia bisa menjadi senjata baru dalam memperparah krisis kebenaran.
PBB sendiri meski jauh dari sempurna, tetap menjadi ruang penting. Multilateralisme membuka kesempatan bagi negara-negara kecil untuk bersuara, sesuatu yang mustahil dalam politik kekuasaan sepihak.
Antonio Guterres, Sekjen PBB, mengingatkan bahwa dunia multipolar hanya bisa maju melalui pendekatan multilateral.
Kita juga tidak bisa melupakan peran jurnalisme independen. Wartawan adalah garda terdepan penjaga fakta. Dukungan pada jurnalisme, baik dalam bentuk pembiayaan maupun perlindungan hukum, adalah syarat untuk keluar dari krisis kebenaran.
Yang terakhir, tanggung jawab individu. Krisis kebenaran bukan hanya masalah global, tetapi juga persoalan sehari-hari. Ketika kita memilih untuk tidak asal menyebarkan informasi, kita sudah berkontribusi melawan impunitas.
Penutup
Kebenaran adalah fondasi bagi segala bentuk keadilan dan perdamaian. Tanpa kebenaran, kepercayaan runtuh. Tanpa kepercayaan, hukum dan demokrasi kehilangan makna. Di situlah impunitas tumbuh subur.
Kita bisa belajar dari sejarah PBB. Lembaga itu lahir dari trauma perang dunia, dari penderitaan manusia yang melihat betapa kejamnya dunia tanpa aturan. Kini, tantangannya bukan hanya senjata api, tetapi juga senjata informasi.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita akan membiarkan krisis kebenaran terus berlangsung, atau kita memilih untuk menjaganya? Sebab jika kita diam, maka impunitas global akan semakin berkuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI