Di tengah upaya membangun ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup warga, Subulussalam menghadapi satu ancaman yang kerap terabaikan: kerusakan lingkungan. Data BPS Kota Subulussalam Dalam Angka 2025 menunjukkan bahwa tutupan hutan terus menyusut dalam lima tahun terakhir, dengan kehilangan signifikan di beberapa kecamatan.
Dampaknya nyata: banjir dan longsor lebih sering melanda, rumah-rumah rusak, dan mata pencaharian warga terganggu. Lingkungan yang rusak tak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menurunkan daya tahan kota terhadap bencana.Â
Pertanyaannya, beranikah kita menjaga hutan sebagai benteng terakhir Subulussalam?
Potret Hutan Subulussalam
Subulussalam adalah salah satu kota di Aceh yang dianugerahi hutan tropis yang luas. Hutan ini bukan hanya rumah bagi flora dan fauna, tetapi juga sumber air, pengatur iklim, dan penyangga kehidupan masyarakat.
Menurut data BPS, sebagian wilayah Subulussalam masih tertutup hutan, terutama di bagian perbukitan dan daerah perbatasan. Namun, dalam lima tahun terakhir, luas hutan ini terus berkurang.
Kehilangan tutupan hutan tidak selalu langsung terlihat. Prosesnya sering dimulai dari pembukaan lahan untuk kebun atau pemukiman, yang lama-kelamaan meluas.
Kawasan yang dulunya rimbun kini mulai berubah menjadi lahan terbuka atau kebun monokultur. Perubahan ini berdampak langsung pada siklus air dan kesuburan tanah.
Potret ini mengingatkan kita bahwa Subulussalam berada di persimpangan: mempertahankan hutan yang tersisa atau membiarkannya hilang demi kepentingan jangka pendek.
Hubungan Deforestasi dan Bencana
Deforestasi bukan sekadar hilangnya pepohonan. Ia membawa serangkaian efek domino yang memengaruhi kehidupan manusia.
Ketika hutan hilang, kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang. Akibatnya, saat hujan lebat, air mengalir deras ke sungai, menyebabkan banjir.