Beberapa hari terakhir, publik kembali dikejutkan dengan langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengusulkan pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong. Usulan itu pun disetujui DPR dalam rapat konsultasi bersama pemerintah, dengan alasan bahwa pengampunan tersebut diberikan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan untuk merajut kembali persaudaraan antar anak bangsa.
Narasi tentang "rekonsiliasi nasional" pun menjadi latar belakang utama langkah itu, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas yang menekankan bahwa keputusan ini bukan untuk menyenangkan publik atau elite politik tertentu, melainkan murni karena pertimbangan kepentingan negara.Â
Namun, apakah pengampunan terhadap pelaku korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan benar-benar bisa disebut sebagai upaya rekonsiliasi nasional? Ataukah justru ini adalah bentuk lain dari impunitas yang dibungkus rapi dengan kata-kata besar seperti "persatuan" dan "keadilan restoratif"?
Dalam konteks demokrasi yang sehat, pengampunan memang memiliki tempat. Ia bisa menjadi simbol kearifan negara dalam menyelesaikan konflik, meredam dendam politik, atau menyudahi kekerasan sosial yang berkepanjangan.Â
Namun dalam kasus seperti Hasto dan Tom, banyak yang melihat bahwa langkah ini bukan untuk menenangkan masyarakat, melainkan untuk mengamankan elite.Â
Ketika pengampunan diberikan kepada tokoh-tokoh yang baru saja divonis dalam kasus korupsi atau pelanggaran integritas publik, wajar bila masyarakat mempertanyakan apakah hukum masih berdiri di atas prinsip keadilan, atau telah berubah menjadi alat transaksional di panggung politik.
Pengampunan yang Mengaburkan Batas Etik dan Hukum
Amnesti dan abolisi memang sah menurut konstitusi. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyebut bahwa presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dengan dasar ini, keputusan Presiden Prabowo tidak bisa disebut melanggar hukum.Â
Namun sah tidak selalu berarti pantas. Legalitas sering kali berbeda dengan moralitas. Seperti juga dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua yang legal itu etis. Dan dalam dunia politik, jurang antara dua hal itu sering kali sangat lebar.
Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti memberikan dana suap untuk memuluskan Harun Masiku masuk DPR lewat mekanisme pergantian antarwaktu. Meski tuntutannya sempat mencapai 7 tahun, pengadilan menyatakan Hasto terbukti membantu pelarian Harun dan ikut terlibat dalam upaya penyogokan.Â
Kasus ini bukan soal pribadi Hasto semata, tetapi soal sistem demokrasi yang rusak oleh kepentingan politik uang dan intervensi elite.Â