Lebih dari itu, ia menilai bahwa ketergantungan pada pinjaman dan lembaga keuangan internasional adalah bentuk lain dari kehilangan kedaulatan ekonomi.
Kritiknya saat itu terdengar nyaring, tapi tidak semua didengar. Banyak kalangan politik dan teknokrat menganggap Kwik terlalu idealis, bahkan ketinggalan zaman. Tapi waktu akhirnya membuktikan bahwa idealisme yang ia pegang ternyata berakar pada realitas yang tak bisa diabaikan.Â
Indonesia kini masih menanggung beban utang luar negeri yang terus membengkak, sementara ketimpangan antarwilayah dan antarkelas sosial tetap menjadi masalah utama. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap berjuang untuk sekadar hidup layak.
Ekonomi Global Menciptakan Ketergantungan Baru
Neoliberalisme, dalam bentuk paling sederhananya, meyakini bahwa pasar adalah mekanisme paling efisien untuk mengatur kehidupan ekonomi. Pemerintah sebaiknya tidak ikut campur terlalu banyak. Deregulasi dan privatisasi menjadi jalan utama.Â
Dalam banyak kasus, terutama di negara maju dengan lembaga yang kuat dan masyarakat yang relatif setara, pendekatan ini bisa membawa hasil. Namun, dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, pendekatan ini justru menciptakan ketergantungan baru.
Inilah yang dilihat dan ditolak oleh Kwik sejak awal. Ia tidak menentang globalisasi, tapi ia mengkritik ketimpangan yang muncul sebagai akibat dari sistem global yang tidak adil.Â
Baginya, ketika Indonesia terlalu bergantung pada investor asing, maka negara akan kehilangan kendali terhadap arah pembangunannya sendiri. Ketika kebijakan disusun hanya untuk menarik modal masuk, sementara kepentingan rakyat kecil dikesampingkan, maka negara tidak sedang membangun, tapi sedang menyerahkan kendalinya.
Kwik pernah menulis bahwa utang luar negeri yang tak terkendali akan membuat Indonesia menjadi "negara pengutang abadi". Ia juga menyoroti bagaimana proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri sering kali tidak memiliki studi kelayakan yang memadai.Â
Ia khawatir, proyek-proyek itu hanya akan menguntungkan kontraktor besar dan elite penguasa, tanpa memberi manfaat nyata bagi masyarakat luas. Kritik ini terasa sangat relevan hari ini, ketika Indonesia menghadapi tekanan fiskal yang tinggi akibat utang dan beban subsidi infrastruktur yang besar.
Lebih dari sekadar perhitungan ekonomi, kritik Kwik memiliki dasar moral yang kuat. Ia percaya bahwa kebijakan ekonomi tidak boleh lepas dari pertimbangan etika.Â
Sebuah kebijakan mungkin bisa membuat angka-angka makro ekonomi terlihat bagus---pertumbuhan meningkat, defisit terkendali---tetapi jika di balik itu rakyat menderita, maka kebijakan itu gagal secara moral. Ini adalah pandangan yang sangat langka di kalangan teknokrat, yang sering kali lebih fokus pada angka dan grafik ketimbang dampak sosial dan politik dari kebijakan yang mereka buat.