Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Kritik Kwik Terhadap Neoliberalisme Makin Relevan Hari Ini?

30 Juli 2025   08:01 Diperbarui: 29 Juli 2025   20:57 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kwik Kian Gie. (Sumber Foto: Kwikkiangie.ac.id via bisnis.com)

Saat kita mengenang sosok Kwik Kian Gie, ingatan kita sering tertuju pada keberaniannya berkata tidak ketika semua orang memilih diam atau ikut arus. Ia bukan hanya dikenal karena jabatan-jabatan penting yang pernah diembannya---sebagai Menteri, Kepala Bappenas, anggota DPR, hingga tokoh penting PDI Perjuangan---melainkan karena konsistensinya dalam memperjuangkan prinsip, terutama dalam hal ekonomi. 

Di tengah hegemoni pemikiran ekonomi pasar bebas yang terus menggulung Indonesia sejak masa reformasi, Kwik adalah satu dari sedikit tokoh publik yang terus-menerus menyuarakan kritik terhadap apa yang disebutnya sebagai bentuk baru dari penjajahan: neoliberalisme.

Kwik menilai neoliberalisme bukan sekadar pendekatan ekonomi, tetapi sebagai paket ideologi yang berbahaya jika diterapkan secara buta di negara berkembang. Ia menolak anggapan bahwa liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi adalah solusi universal yang akan membawa kesejahteraan. 

Baginya, ketika negara hanya menjadi fasilitator pasar dan kehilangan peran aktif dalam melindungi rakyat, maka yang terjadi bukan pertumbuhan yang merata, melainkan pelebaran ketimpangan. Ia tidak anti-pasar, tapi ia menolak penyembahan buta terhadap mekanisme pasar.

Kini, puluhan tahun sejak kritik-kritiknya pertama kali dilontarkan, kita mulai melihat apa yang dulu ia khawatirkan menjadi kenyataan. 

Ketimpangan ekonomi meningkat. Kepemilikan aset semakin terkonsentrasi pada segelintir orang. Proyek-proyek infrastruktur bernilai ratusan triliun berjalan tanpa perencanaan matang, kadang justru menjadi beban keuangan negara. 

Utang luar negeri naik drastis, dan tak sedikit di antaranya digunakan untuk membiayai proyek yang manfaat sosialnya dipertanyakan. 

Dalam kondisi seperti ini, suara-suara kritis seperti Kwik Kian Gie menjadi semakin relevan---dan sayangnya, semakin langka.

Di masa awal reformasi, banyak pihak tergoda untuk menerima resep neoliberal yang ditawarkan IMF dan Bank Dunia. Kwik adalah salah satu dari sedikit tokoh yang tegas menolak. 

Ia melihat bahwa resep yang ditawarkan, seperti pengetatan fiskal, pelepasan subsidi, dan privatisasi BUMN, justru akan memperlemah daya tahan rakyat kecil. Ia memperingatkan bahwa liberalisasi ekonomi yang tidak hati-hati akan menjadikan Indonesia sebagai pasar bebas bagi produk asing, tanpa proteksi bagi industri lokal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun