Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan di bawah Menteri Fadli Zon telah memantik perdebatan sengit di ruang publik. Proyek ini---yang menargetkan penyelesaian pada 17 Agustus 2025 sebagai hadiah HUT ke-80 RI---melibatkan sekitar 112 hingga 130 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh negeri.
Tujuannya jelas: memperbarui buku sejarah nasional yang terakhir diperbaharui 26 tahun silam dan menggantikan buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada 2010--2012.
Dalam paparan publik, Fadli Zon menekankan bahwa penulisan sejarah ini tidak dipengaruhi politik dan disusun berdasarkan metode "accepted history", yakni mengacu pada fakta akademik berdasarkan penelitian ilmiah. Ia menyatakan bahwa "tidak ada intervensi terkait penulisan ulang sejarah" dan percaya proyek ini akan memuat fakta keras dalam lintas periode sejarah nasional.
Namun, serangkaian kritik tajam dari sejarawan, aktivis, akademisi independen, dan masyarakat sipil mengangkat satu pertanyaan besar: apakah narasi sejarah yang diciptakan oleh negara ini benar-benar independen, atau justru sarana pengendalian dan legitimasi politik? Konteks pertanyaan ini menjadi pusat kegelisahan publik.
Sejarah bukan sekadar arsip masa lalu. Ia adalah identitas bangsa, memori kolektif, dan alat refleksi terhadap siapa kita dan ke mana kita menuju. Jika narasi ini dikendalikan oleh kekuasaan, bukan rakyat atau ilmuwan independen, maka apa yang tertulis bukan sejarah yang otentik, melainkan sejarah versi penguasa.
Politik, Ilmiah, dan Hak Publik atas Sejarah
Kelompok seperti Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI)---beranggotakan sejarawan, ahli hak asasi manusia, pegiat masyarakat sipil, dan akademisi independen---menyerukan penolakan tegas terhadap proyek ini.
Ketua AKSI, Marzuki Darusman, bahkan menyebut proyek ini sebagai "proyek masif rekayasa masa lalu" yang menempatkan negara sebagai pemegang kebenaran tunggal sekaligus mencurigai motif untuk mencuci dosa rezim penguasa. Ia menegaskan bahwa proyek ini menimbulkan legitimasi kekuasaan atas sejarah, dan berpotensi menyangkal pluralitas dan trauma yang belum diselesaikan.
Asvi Warman Adam, sejarawan senior yang juga anggota AKSI dan anggota Komisi X DPR RI, menyatakan bahwa penulisan ulang ini tidak memenuhi kaidah ilmiah karena dilaksanakan secara terburu-buru tanpa forum dialog terbuka atau uji publik yang memadai.
Ia khawatir bahwa narasi ini akan mengaburkan fakta-fakta kritis, seperti pelanggaran hak asasi manusia di era Orde Baru, kasus penculikan aktivis pada 1998, dan tragedi pemerkosaan massal Mei 1998, yang pernah diakui oleh lembaga resmi seperti Komnas HAM maupun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Sejarawan dan antropolog seperti Andi Achdian dari Universitas Nasional juga menyoroti bahaya label "sejarah resmi" yang berimplikasi pada otoritarianisme kultural: negara menegasikan tafsir alternatif dan mengkategorikan narasi lain sebagai "tidak resmi" atau subversif.
Ia mengingatkan bahwa pengalaman sejarah totalitarian seperti Nazi Jerman dan Italia Musolini lahir dari narasi sejarah resmi yang monopoli kebenaran.
Amnesty International Indonesia, melalui Direktur Eksekutif Usman Hamid, memperingatkan bahwa sejarah bukan milik pemerintah, tetapi milik publik dan korban. Upaya mematok satu narasi resmi akan menutup ruang interpretasi yang dinamis dan menegasikan kisah perjuangan rakyat, minoritas, serta trauma kolektif yang penting untuk rekonsiliasi dan pendidikan kemanusiaan.
Kritik lain datang dari anggota DPR seperti Bonnie Triyana dari Komisi X, yang menyoroti bahwa proyek ini belum memperlihatkan draft substansial kepada publik atau wakil rakyat.
Ia menegaskan bahwa proyek serupa pada awalnya di 1950-an dilaksanakan melalui konferensi nasional terbuka yang melibatkan banyak suara intelektual, bukan di bawah kendali satu lembaga negara saja.
Penting pula mencatat bahwa pemerintah menargetkan draft mencapai 70--80 persen sebelum membuka dialog publik, yang artinya masyarakat baru mendapat akses setelah narasi hampir jadi.
Fadli Zon menyebut dialog publik sebelum itu seperti memperdebatkan "pepesan kosong"---padahal sebaliknya, keterlibatan publik sejak tahap awal dibutuhkan untuk menjaga kredibilitas sejarah. DPR lantas membentuk tim supervisi gabungan Komisi III dan X untuk mengawasi proses ini agar tetap objektif dan ilmiah.
Siapa Mengendalikan Narasi Sejarah?
Setelah menggali kritik dan keprihatinan yang muncul, kita perlu menarik kesimpulan tentang: siapa sebenarnya yang mengendalikan narasi sejarah Indonesia melalui proyek ini?
Pertama, proyek ini digagas oleh negara dan dipimpin oleh Menteri Kebudayaan, dengan tim sejarawan dan editor yang ditunjuk secara formal. Meskipun melibatkan sejarawan dari berbagai kampus, struktur komando tetap berada dalam kendali kementerian.
Hal ini menimbulkan risiko bias sistemik jika kontrol editorial tetap ada di tangan birokrasi atau politikus, bukan komunitas ilmiah independen.
Kedua, logika label "sejarah resmi" sangat problematis dalam demokrasi. Ketika negara mendeklarasikan satu versi sejarah sebagai satu-satunya yang valid, narasi lain bisa dianggap tidak sah atau bahkan subversif.
Ini membatasi pluralitas tafsir yang menjadi esensi ilmu sejarah, dan memaksa integritas intelektual menjadi tawar menawar politik. Sejarah yang sehat lahir dari dialog, debat, dan inklusivitas, bukan monopoli interpretasi.
Ketiga, urgensi dan timeline proyek memperkuat kekhawatiran tentang manipulasi. Dengan tenggat waktu penyelesaian dalam waktu kurang dari satu tahun untuk menghasilkan 10 jilid dan sekitar 5.000 halaman naskah sejarah nasional baru, dikhawatirkan ketajaman analisis dan kedalaman dokumentasi tertekan oleh target politik.
Kritik menyebut metode ini terburu-buru dan kurang transparan, tidak selayaknya menyusun narasi identitas nasional yang kompleks.
Keempat, fakta bahwa sebagian peristiwa penting---seperti pelanggaran HAM berat, penculikan aktivis reformasi 1998, dan mimpi perempuan dalam sejarah perjuangan---berpotensi direduksi atau dikecilkan dari naskah utama adalah sinyal bahaya.
Misalnya, pernyataan Fadli Zon yang meragukan adanya pemerkosaan massal pada Mei 1998 sehari setelah menyebut fakta ini tidak kuat telah memicu protes keras dari berbagai pihak.
Kelima, walaupun DPR menetapkan tim supervisi dan ada rencana uji publik, struktur kontrol tetap didominasi oleh elit politik.
Jika kontrol narasi tetap di tangan penguasa, sementara publik hanya diundang setelah draft hampir selesai, maka kontrol sejarah tetap parsial dan eksklusif. Sejarah tidak boleh menjadi milik satu rezim; ia harus menjadi milik rakyat, bangsa, dan kebenaran.
Sejarah terbaik adalah sejarah yang ditulis dengan integritas, keberanian mengungkap fakta kelam, menghormati keragaman perspektif, dan menjadikan masyarakat sebagai bagian dalam prosesnya.
Sejarah yang ditulis dari atas, tanpa partisipasi publik dan ketajaman ilmiah, bukan memperbarui narasi---tetapi justru menutup ruang kreativitas sejarah bangsa.
Akhir kata, narasi sejarah bukan alat legitimasi kekuasaan, melainkan fondasi demokrasi. Siapa mengendalikan narasi sejarah, maka ia berpeluang membentuk cara generasi mendatang memahami masa lalu dan menentukan arah masa depan.
Sejarah bukan milik pemerintah; ia milik rakyat, korban, generasi muda. Narasi sejarah yang sehat lahir dari keseimbangan antara otoritas ilmiah dan kontrol rakyat. Tanpa itu, sejarah tidak hanya ditulis ulang---ia sedang dihapus ulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI