Ia mengingatkan bahwa pengalaman sejarah totalitarian seperti Nazi Jerman dan Italia Musolini lahir dari narasi sejarah resmi yang monopoli kebenaran.
Amnesty International Indonesia, melalui Direktur Eksekutif Usman Hamid, memperingatkan bahwa sejarah bukan milik pemerintah, tetapi milik publik dan korban. Upaya mematok satu narasi resmi akan menutup ruang interpretasi yang dinamis dan menegasikan kisah perjuangan rakyat, minoritas, serta trauma kolektif yang penting untuk rekonsiliasi dan pendidikan kemanusiaan.
Kritik lain datang dari anggota DPR seperti Bonnie Triyana dari Komisi X, yang menyoroti bahwa proyek ini belum memperlihatkan draft substansial kepada publik atau wakil rakyat.
Ia menegaskan bahwa proyek serupa pada awalnya di 1950-an dilaksanakan melalui konferensi nasional terbuka yang melibatkan banyak suara intelektual, bukan di bawah kendali satu lembaga negara saja.
Penting pula mencatat bahwa pemerintah menargetkan draft mencapai 70--80 persen sebelum membuka dialog publik, yang artinya masyarakat baru mendapat akses setelah narasi hampir jadi.
Fadli Zon menyebut dialog publik sebelum itu seperti memperdebatkan "pepesan kosong"---padahal sebaliknya, keterlibatan publik sejak tahap awal dibutuhkan untuk menjaga kredibilitas sejarah. DPR lantas membentuk tim supervisi gabungan Komisi III dan X untuk mengawasi proses ini agar tetap objektif dan ilmiah.
Siapa Mengendalikan Narasi Sejarah?
Setelah menggali kritik dan keprihatinan yang muncul, kita perlu menarik kesimpulan tentang: siapa sebenarnya yang mengendalikan narasi sejarah Indonesia melalui proyek ini?
Pertama, proyek ini digagas oleh negara dan dipimpin oleh Menteri Kebudayaan, dengan tim sejarawan dan editor yang ditunjuk secara formal. Meskipun melibatkan sejarawan dari berbagai kampus, struktur komando tetap berada dalam kendali kementerian.
Hal ini menimbulkan risiko bias sistemik jika kontrol editorial tetap ada di tangan birokrasi atau politikus, bukan komunitas ilmiah independen.
Kedua, logika label "sejarah resmi" sangat problematis dalam demokrasi. Ketika negara mendeklarasikan satu versi sejarah sebagai satu-satunya yang valid, narasi lain bisa dianggap tidak sah atau bahkan subversif.
Ini membatasi pluralitas tafsir yang menjadi esensi ilmu sejarah, dan memaksa integritas intelektual menjadi tawar menawar politik. Sejarah yang sehat lahir dari dialog, debat, dan inklusivitas, bukan monopoli interpretasi.