Di antara begitu banyak jenis kerja sama, bekerja bareng saudara kandung adalah salah satu yang paling rumit sekaligus paling menarik. Di satu sisi, kita merasa lebih nyaman karena sudah kenal luar-dalam.Â
Tapi di sisi lain, hubungan keluarga yang seharusnya jadi tempat pulang dan saling menguatkan justru bisa berubah jadi medan konflik kalau urusan kerja tak berjalan mulus. Dilema inilah yang dialami banyak orang---termasuk saya sendiri---yang pernah mencicipi manis dan pahitnya kerja bareng saudara.
Ada yang bilang, kerja bareng saudara itu seperti bermain sepak bola di halaman rumah sendiri. Lapar? Bisa tinggal makan bareng. Capek? Bisa saling nyender. Salah? Masih bisa dimaafkan.Â
Tapi ada juga yang bilang, kerja bareng saudara itu seperti bermain kartu di meja makan---semua terlihat santai, sampai akhirnya ada yang merasa dikhianati dan seluruh suasana rumah berubah tegang.Â
Tak bisa dipungkiri, hubungan darah yang dibawa ke ruang kerja bisa menambah kehangatan, tapi juga bisa menjadi beban tambahan yang tak ringan.
Saya ingin menulis ini bukan untuk menyimpulkan mana yang lebih baik: kerja bareng saudara atau kerja dengan orang luar. Tapi saya ingin mengajak siapa pun yang membaca untuk merenung, barangkali dari kisah-kisah semacam ini kita bisa belajar banyak soal batas, kepercayaan, dan profesionalisme.
Nyaman tapi Rentan: Ketika Hubungan Keluarga Masuk ke Ruang Kerja
Ada alasan kenapa banyak orang memilih bekerja dengan saudara. Salah satu alasan utamanya adalah rasa percaya. Saudara dianggap lebih dapat diandalkan dibanding orang asing.Â
Kita bisa langsung tahu siapa mereka, bagaimana cara berpikirnya, dan seberapa besar komitmennya. Kita tidak perlu terlalu banyak basa-basi atau adaptasi.Â
Ada pula anggapan bahwa keluarga pasti punya tujuan yang sama, yaitu membangun sesuatu bersama-sama, bukan sekadar mencari untung pribadi.
Di sinilah muncul kenyamanan yang tak semua orang bisa rasakan dalam kerja profesional biasa. Komunikasi bisa lebih terbuka, lebih cepat, bahkan dalam bahasa non-verbal.Â