Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hari Anak Nasional dan Perlindungan Anak Marjinal

24 Juli 2025   08:01 Diperbarui: 24 Juli 2025   00:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak marjinal kota. (Sumber: pinterest.com/Freepik)

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Peringatan ini menjadi momen untuk mengingatkan kita semua bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang perlu dijaga dan dilindungi. 

Namun, peringatan ini sering kali terasa jauh dari kehidupan anak-anak yang berada dalam kondisi marjinal, seperti anak jalanan, anak buruh, anak yang tinggal di pemukiman kumuh, hingga anak-anak yang hidup di daerah terpencil tanpa akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.

Di satu sisi, kita melihat banyak perayaan Hari Anak Nasional dilakukan secara meriah. Ada lomba-lomba, kegiatan seni, seminar, dan berbagai kampanye di media sosial. Pemerintah, sekolah, dan berbagai instansi turut serta memeriahkan peringatan ini. 

Tapi di sisi lain, tidak semua anak bisa ikut merayakan. Tidak semua anak bisa menikmati makna dari peringatan itu.

Anak-anak marjinal sering kali tidak mendapat tempat dalam keramaian itu. Mereka tidak diundang ke acara resmi, tidak diajak berbicara, dan tidak diberikan ruang untuk menunjukkan suara mereka. 

Padahal, mereka adalah kelompok yang justru paling membutuhkan perhatian dan perlindungan. Hari Anak Nasional seharusnya menjadi ruang untuk menyuarakan harapan anak-anak yang hidup di pinggiran, bukan hanya mereka yang berada di tengah kota atau dalam lingkup sekolah yang nyaman.

Anak-anak yang bekerja di jalanan, membantu orang tua berdagang, atau hidup dalam kemiskinan tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk sekadar bermain. Mereka harus membantu ekonomi keluarga, menjaga adik, bahkan ada yang sudah bekerja sejak usia dini. 

Dalam situasi ini, banyak hak anak yang terabaikan. Hak untuk bermain, hak untuk belajar, hak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan, semua itu sering kali menjadi hal yang mewah bagi anak-anak dalam kondisi marjinal.

Ketika Peringatan Tidak Menyentuh Semua Anak

Dalam peringatan Hari Anak Nasional, tema-tema yang diangkat biasanya penuh harapan. Misalnya, tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” atau “Anak Hebat, Indonesia Kuat.” 

Kalimat-kalimat itu memang terdengar indah. Tapi, jika kita melihat kenyataan di lapangan, banyak anak yang tidak terlindungi, tidak kuat, dan tidak merasa hebat karena lingkungan tempat mereka tumbuh tidak memberikan ruang yang aman bagi mereka.

Anak-anak marjinal menghadapi tantangan yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya. Mereka sering kali tidak memiliki akta kelahiran, sehingga tidak tercatat dalam sistem administrasi negara. 

Akibatnya, mereka sulit mendapatkan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan sosial. Anak-anak yang tidak memiliki identitas resmi ini seolah-olah tidak ada di mata negara, padahal mereka benar-benar ada dan hidup di sekitar kita.

Selain itu, anak-anak dalam kondisi marjinal juga lebih rentan menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Banyak anak yang mengalami kekerasan di jalan, di tempat kerja, bahkan dalam rumah sendiri. 

Sayangnya, kasus-kasus seperti ini sering tidak dilaporkan atau tidak ditangani dengan baik karena posisi anak yang lemah dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak.

Di tengah semua perayaan Hari Anak Nasional, sangat sedikit ruang yang diberikan untuk membahas isu anak marjinal secara mendalam. 

Fokus kegiatan lebih banyak pada seremonial dan simbol-simbol yang terlihat menyenangkan, tapi lupa pada suara yang sunyi dari anak-anak yang hidup dalam keterbatasan. 

Tidak banyak orang yang bertanya: bagaimana anak-anak di kolong jembatan merayakan Hari Anak Nasional? Apakah mereka tahu hari itu ada? Apakah mereka merasakan bahwa negara hadir untuk mereka?

Peringatan Hari Anak Nasional seharusnya tidak berhenti pada tanggal 23 Juli saja. Perlindungan anak bukan pekerjaan satu hari. Ini adalah pekerjaan yang harus dilakukan terus-menerus. 

Negara harus hadir bukan hanya saat peringatan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari anak-anak marjinal. Mereka berhak mendapat perhatian yang sama seperti anak-anak lainnya.

Sekolah-sekolah bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak marjinal, jika diberi dukungan yang cukup. Pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan komunitas dan lembaga sosial untuk menghadirkan pendidikan alternatif bagi anak jalanan. 

Pelayanan kesehatan bisa diberikan secara mobile bagi anak-anak yang hidup di kawasan padat atau terpencil. Semua itu bisa dilakukan jika ada kemauan dan keberpihakan pada anak-anak yang selama ini dilupakan.

Harapan dari Pinggir Kota dan Desa

Di balik keterbatasan hidup, anak-anak marjinal sebenarnya punya harapan yang sangat sederhana. Mereka ingin sekolah, ingin bermain, ingin makan dengan cukup, dan ingin merasa aman. 

Mereka ingin orang dewasa mendengarkan cerita mereka. Mereka ingin punya masa depan yang lebih baik.

Anak-anak ini tidak minta untuk dikasihani. Mereka hanya ingin diberi kesempatan yang sama. Saat kita merayakan Hari Anak Nasional, harapan mereka adalah agar peringatan itu benar-benar membawa perubahan. 

Perubahan yang nyata, bukan hanya dalam bentuk baliho atau spanduk, tapi dalam bentuk tindakan dan kebijakan yang berpihak.

Misalnya, pemerintah bisa mulai dari hal sederhana seperti memastikan bahwa semua anak punya akta kelahiran. Ini penting karena tanpa akta, anak akan kesulitan mendapat hak-haknya. 

Pemerintah juga bisa memastikan bahwa program bantuan sosial menjangkau keluarga miskin yang memiliki anak usia sekolah. Anak-anak bisa diberikan beasiswa, makanan bergizi, dan dukungan psikologis jika mereka mengalami kekerasan.

Komunitas juga punya peran besar. Banyak komunitas di kota-kota besar yang telah membentuk rumah belajar atau rumah singgah untuk anak jalanan. Di tempat seperti ini, anak-anak bisa belajar, bermain, dan mendapat perhatian. 

Tentu saja, dukungan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar komunitas ini bisa bertahan dan berkembang.

Media juga bisa menjadi jembatan penting. Cerita tentang anak-anak marjinal harus lebih sering muncul di media, bukan hanya saat ada peringatan atau bencana. Masyarakat perlu tahu bahwa masih banyak anak yang belum merasakan arti kemerdekaan dan perlindungan.

Sekolah juga harus terbuka dan inklusif. Masih banyak sekolah yang menolak anak-anak dari latar belakang tertentu karena alasan administratif atau ekonomi. 

Padahal, pendidikan adalah hak semua anak. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyambut semua anak, apapun latar belakang mereka.

Jika semua pihak bekerja sama, Hari Anak Nasional bisa menjadi momentum yang membawa harapan. Bukan hanya harapan yang diucapkan dalam pidato, tapi harapan yang diwujudkan dalam tindakan. 

Anak-anak marjinal bisa merasakan bahwa mereka juga bagian dari bangsa ini, bahwa mereka juga penting, dan bahwa mereka juga berhak untuk bahagia.

Hari Anak Nasional seharusnya menjadi panggilan hati. Bukan sekadar perayaan, tapi juga perenungan. Sudahkah kita memberikan ruang bagi semua anak? 

Sudahkah kita mendengar suara yang tidak terdengar? Sudahkah kita benar-benar peduli pada anak-anak yang hidup di pinggir jalan, di kolong jembatan, atau di sudut desa yang jauh dari pusat kota?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mungkin tidak mudah. Tapi kita harus mulai dari sekarang. Karena jika kita tidak mulai hari ini, maka peringatan itu akan terus jadi seremonial yang hampa. Dan anak-anak marjinal akan terus menunggu, berharap, dan bertanya-tanya: apakah Hari Anak Nasional juga untuk mereka?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun