Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Hari Anak Nasional dan Tantangan Pengarusutamaan Perlindungan Anak di Kurikulum Sekolah

23 Juli 2025   11:01 Diperbarui: 23 Juli 2025   16:56 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Anak Nasional 2025. (Dok. Unsplash/bill wegener)

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan ini sarat dengan sejumlah kegiatan di tingkat nasional, daerah, sekolah, hingga komunitas. Ada lomba menggambar, seminar, talkshow, hingga upacara seremonial. 

Namun, di balik perayaan itu, apakah indikator perlindungan anak---terutama di lingkungan sekolah---telah benar-benar mengalami perbaikan? Lebih dari sekadar perayaan, HAN seharusnya menjadi momentum nyata untuk mengarusutamakan perlindungan anak dalam sistem pendidikan. 

Mari kita telusuri lebih jauh: sejauh mana perlindungan anak telah masuk ke dalam kurikulum sekolah? Apakah sekolah sudah menjadi agen utama dalam menjaga hak dan keselamatan anak, atau justru menjadi tempat yang rawan kekerasan?

Mengintegrasi Hak Anak dalam Kurikulum: Apa Kabar?

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa kurikulum di Indonesia bukan sekadar daftar mata pelajaran. Ia adalah kerangka strategis yang menentukan apa, bagaimana, dan mengapa anak-anak belajar sesuatu. 

Dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, telah ditegaskan bahwa anak berhak atas pendidikan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasinya tanpa diskriminasi. Namun dalam praktiknya, keberpihakan terhadap anak melalui kurikulum masih sangat terbatas.

Jika kita menelusuri dokumen kurikulum---baik Kurikulum 2013 (K-13) ataupun Kurikulum Merdeka---jarang sekali terdapat indikator yang secara eksplisit berbicara soal hak anak, keselamatan psikologis, atau pengenalan terhadap perlindungan diri. 

Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Agama semestinya menjadi ruang bagi anak untuk belajar hak dan kewajiban, termasuk perlindungan diri. Nyatanya, materi terkait masih bersifat normatif dan sering kali hanya terbatas pada nasionalisme, moral, dan dasar-dasar agama. 

Ilustrasi Hari  Anak Nasional (Foto: Getty Images/Gratsias Adhi Hermawan via detik.com)
Ilustrasi Hari  Anak Nasional (Foto: Getty Images/Gratsias Adhi Hermawan via detik.com)

Topik seperti pencegahan kekerasan, pengenalan trauma, atau perlindungan kulit mata terhadap eksploitasi seksual jarang muncul dalam catatan kompetensi dasar.

Bahkan ketika perspektif hak anak muncul, hanya sebatas "materi tambahan" yang dijabarkan lewat modul Bimbingan Konseling (BK). Padahal BK di sekolah umumnya berperan sebagai salvasi pasca-kasus---bukan sebagai instrumen preventif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun