Setelah semua negosiasi panjang dan konferensi pers yang menghangatkan suasana, pertanyaan pentingnya tetap: apakah CEPA benar-benar akan mengubah praktik di lapangan? Apakah masyarakat adat di Papua akan memiliki suara lebih besar dalam menentukan nasib wilayahnya setelah adanya perjanjian ini?Â
Apakah petani sawit di Sumatera Selatan akan mendapat pendampingan untuk memenuhi standar ramah lingkungan? Apakah tambang nikel di Morowali akan diminta menyesuaikan operasinya agar lebih berkelanjutan?
Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa banyak perjanjian internasional cenderung berhenti pada tataran simbolik. Mereka menciptakan headline, memenuhi target diplomatik, dan menenangkan pasar. Tapi dampaknya tidak selalu menyentuh akar rumput.Â
Untuk menghindari nasib serupa, CEPA harus dibarengi dengan upaya nasional yang serius untuk menyesuaikan regulasi domestik, memperkuat kapasitas lokal, dan memastikan bahwa semua pihak---terutama yang paling rentan---ikut dilibatkan.
Indonesia tidak bisa serta-merta menolak semua standar Eropa hanya karena ingin menjaga otonomi kebijakan. Namun Eropa juga tidak bisa memaksakan satu paket nilai ke semua negara tanpa membuka ruang untuk adaptasi dan konteks lokal.Â
Idealnya, CEPA menjadi jalan tengah. Sebuah platform bersama di mana Indonesia bisa mengajukan skema pelacakan berbasis lokal, sistem verifikasi berbasis komunitas, dan insentif yang benar-benar memberdayakan petani dan masyarakat adat. Bukan sekadar memenuhi checklist Eropa, tapi membangun sistem yang relevan dan berkeadilan di dalam negeri.
Komponen Trade and Sustainable Development (TSD) dalam CEPA harus diperkuat. Ia tidak boleh hanya menjadi bagian pelengkap tanpa sanksi.Â
Harus ada ruang bagi masyarakat sipil untuk ikut memantau pelaksanaannya. Harus ada evaluasi berkala, dan jika perlu, sanksi terhadap pihak yang melanggar prinsip-prinsip lingkungan dan hak asasi.
Indonesia tidak kekurangan modal untuk melakukan itu semua. Kita punya LSM lingkungan yang kompeten, akademisi yang progresif, dan komunitas adat yang kuat.Â
Tapi mereka butuh ruang, pendanaan, dan dukungan politik agar bisa menjadi aktor dalam pelaksanaan CEPA. Perjanjian ini harus hidup, dan kehidupan itu tidak hanya lahir di ruang diplomasi, tetapi tumbuh di desa-desa, di hutan, di tambang, dan di pasar tradisional tempat produk rakyat dijual.
Akhir kata, Saya menulis ini bukan dari posisi ahli hukum internasional atau ekonom perdagangan. Saya menulis ini sebagai warga negara yang percaya bahwa pembangunan Indonesia bisa maju tanpa harus mengorbankan lingkungan atau meminggirkan rakyat kecil.Â