Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penurunan FDI dan Proteksionisme Negara Besar

7 Juli 2025   15:03 Diperbarui: 7 Juli 2025   15:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: metalsedge.com/Freepik)

Pada tahun 2025, peta ekonomi global mengalami guncangan signifikan akibat penurunan tajam investasi asing langsung (FDI), yang menandai sebuah transisi penting dalam arsitektur ekonomi internasional. 

Fenomena ini bukan semata-mata disebabkan oleh dinamika pasar atau siklus ekonomi konvensional, melainkan berakar pada perubahan struktur kekuasaan global yang ditandai oleh meningkatnya proteksionisme, konflik dagang, dan ketegangan geopolitik.

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara dengan kekuatan ekonomi besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan blok Uni Eropa mulai memberlakukan kebijakan perdagangan yang lebih tertutup, melindungi industri domestik dengan tarif tinggi, insentif produksi lokal, dan penghalang non-tarif yang semakin kompleks.

Kebijakan semacam ini telah membatasi pergerakan modal lintas negara dan mengganggu jalur investasi yang sebelumnya terbuka lebar di bawah kerangka globalisasi.

Tren ini membawa dampak yang tidak merata. Negara-negara berkembang, yang selama ini mengandalkan aliran FDI untuk mendanai pembangunan infrastruktur, meningkatkan produktivitas industri, dan menciptakan lapangan kerja, kini menghadapi tekanan berat.

Ketika arus modal mulai mengering, banyak proyek pembangunan strategis terhambat atau bahkan mandek. Ketergantungan terhadap modal asing yang sebelumnya dipandang sebagai strategi pembangunan yang rasional kini berubah menjadi kerentanan struktural.

Situasi ini diperparah oleh ketimpangan akses terhadap teknologi dan pendanaan internasional, yang semakin memperdalam kesenjangan antara negara-negara maju dan berkembang.

Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, muncul kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali fondasi pembangunan nasional dan menyusun ulang strategi ekonomi agar tidak lagi bergantung sepenuhnya pada arsitektur global yang kian terfragmentasi.

 FDI dan Arsitektur Ekonomi Global

Selama lebih dari tiga dekade, investasi asing langsung menjadi fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi lintas kawasan, terutama di negara-negara berkembang. Arsitektur ekonomi global pasca-Perang Dingin secara aktif mendorong liberalisasi perdagangan dan mobilitas modal lintas batas.

Melalui berbagai kerangka kerja seperti WTO, perjanjian perdagangan bebas regional, dan deregulasi pasar modal, negara-negara berkembang membuka akses terhadap investor asing dengan harapan bahwa arus modal ini akan mempercepat pembangunan industri dan memperluas lapangan kerja.

Narasi dominan yang berkembang adalah bahwa FDI membawa tidak hanya modal finansial, tetapi juga alih teknologi, efisiensi manajerial, serta akses ke pasar global. Dalam beberapa kasus, seperti di Asia Tenggara dan Amerika Latin, kebijakan pembukaan ekonomi ini memang memberikan pertumbuhan jangka pendek yang impresif.

Namun, ketergantungan terhadap FDI menciptakan struktur ekonomi yang rentan terhadap guncangan eksternal. Ketika aliran modal bersifat volatil dan sangat dipengaruhi oleh persepsi risiko global, negara-negara penerima tidak memiliki kendali yang cukup atas keberlanjutan investasi tersebut.

Model pembangunan yang bertumpu pada daya tarik investor asing seringkali mengabaikan penguatan kapasitas produksi domestik dan hanya berperan sebagai mata rantai terendah dalam sistem produksi global.

Dalam konteks ini, arsitektur ekonomi global bukan sekadar kerangka interaksi pasar bebas, melainkan juga instrumen distribusi ulang kekuasaan ekonomi yang sering kali menempatkan negara berkembang dalam posisi subordinat.

Selain itu, perubahan strategi investasi korporasi multinasional turut membentuk arah arsitektur ini. Keputusan investasi tidak semata-mata berbasis kalkulasi ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan tekanan geopolitik, stabilitas regulasi, serta insentif fiskal yang ditawarkan negara tuan rumah.

Ketika risiko geopolitik meningkat dan proteksionisme merebak, perusahaan multinasional cenderung menarik modalnya dari kawasan yang dianggap tidak stabil, yang pada gilirannya menciptakan ketidakpastian makroekonomi di negara-negara berkembang.

Dengan demikian, arsitektur ekonomi global pasca-globalisasi tidak lagi menjadi ekosistem terbuka dan saling menguntungkan, melainkan berubah menjadi arena persaingan strategis di mana mobilitas modal dikendalikan oleh kalkulasi geopolitik dan kepentingan nasional negara maju.

 Proteksionisme Global

Memasuki paruh dekade 2020-an, kebijakan ekonomi negara-negara besar mengalami perubahan arah yang tajam dari prinsip liberalisme ekonomi menuju proteksionisme strategis. 

Peralihan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari ketidakpuasan terhadap hasil globalisasi, meningkatnya polarisasi politik domestik, serta dinamika persaingan geopolitik yang semakin intens.

Amerika Serikat, yang dahulu menjadi promotor utama sistem perdagangan bebas, kini secara terbuka menerapkan kebijakan re-shoring industri strategis, memberikan subsidi besar untuk manufaktur domestik melalui kebijakan seperti Inflation Reduction Act, dan memberlakukan pembatasan ekspor teknologi ke negara-negara saingan seperti Tiongkok.

Uni Eropa pun mengikuti pola serupa, memperketat regulasi investasi asing dan meningkatkan hambatan teknis untuk melindungi sektor-sektor energi bersih dan teknologi tinggi.

Sementara itu, Tiongkok merespons tekanan eksternal dengan memperkuat orientasi ke dalam melalui strategi "dual circulation", yang menekankan penguatan pasar domestik dan pengembangan teknologi dalam negeri guna mengurangi ketergantungan terhadap rantai pasok global.

Alih-alih mendorong keterbukaan lebih lanjut, kekuatan-kekuatan besar ini kini berlomba membangun blok-blok ekonomi eksklusif dan menegosiasikan ulang kesepakatan perdagangan untuk memperoleh posisi tawar yang lebih tinggi.

Fragmentasi ini semakin diperkuat oleh kebijakan keamanan nasional yang disisipkan ke dalam kebijakan ekonomi, menjadikan arus barang, jasa, dan modal tidak lagi murni ditentukan oleh logika pasar, melainkan oleh pertimbangan strategis.

Dampak dari gelombang proteksionisme ini dirasakan secara asimetris. Negara-negara dengan kapasitas fiskal dan teknologi tinggi mampu mendukung industri dalam negerinya secara agresif, sementara negara-negara berkembang justru terdesak oleh tekanan struktural baru.

Ketika pasar ekspor mulai tertutup dan FDI menurun drastis, daya saing industri di negara berkembang menurun karena tidak memiliki akses terhadap pembiayaan murah dan teknologi mutakhir. Kebijakan-kebijakan protektif yang semula dimaksudkan untuk merespons risiko global, dalam praktiknya menciptakan eksklusi baru yang memperlebar kesenjangan antarnegara.

Proteksionisme, yang dahulu dianggap sebagai anomali, kini menjadi norma baru dalam tatanan ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi.

 Dampak terhadap Negara Berkembang

Penurunan tajam FDI di tengah meningkatnya proteksionisme global membawa konsekuensi yang serius bagi negara-negara berkembang. Selama beberapa dekade terakhir, banyak dari negara ini telah menyesuaikan struktur ekonominya untuk menarik modal asing, dengan menawarkan insentif fiskal, merombak regulasi pasar tenaga kerja, dan menyesuaikan kebijakan moneter demi menciptakan iklim investasi yang kompetitif.

Ketika arus FDI mengering, fondasi model pembangunan semacam ini mulai terguncang. Proyek-proyek besar yang sebelumnya dijanjikan oleh investor asing---dari infrastruktur transportasi hingga kawasan industri berbasis ekspor---mengalami stagnasi atau pembatalan, menyisakan beban fiskal yang tinggi dan ekspektasi ekonomi yang tak terpenuhi.

Situasi ini memperparah kesenjangan struktural yang sudah ada. Ketimpangan dalam distribusi investasi tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga di dalam negara itu sendiri. Wilayah yang semula tumbuh berkat kehadiran industri asing kini menghadapi peningkatan pengangguran, pelemahan konsumsi rumah tangga, dan ketegangan sosial.

Pemerintah, dalam kondisi fiskal yang terbatas, dihadapkan pada dilema antara menjaga stabilitas makroekonomi atau memenuhi tuntutan sosial yang meningkat. Dalam banyak kasus, tekanan untuk mempertahankan nilai tukar dan menjaga arus keluar modal justru mempersempit ruang kebijakan yang dibutuhkan untuk merespons krisis pembangunan ini.

Di sisi lain, ketidakstabilan geopolitik yang menyertai gelombang proteksionisme juga mempersulit negara-negara berkembang dalam membangun kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Sanksi ekonomi, perang dagang, dan fragmentasi sistem keuangan internasional membuat upaya diversifikasi mitra dagang menjadi semakin menantang.

Negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada satu atau dua sumber investasi asing kini mendapati diri mereka berada dalam posisi tawar yang lemah, terjebak dalam dinamika kekuasaan global yang semakin keras dan tidak menentu. 

Ketika akses terhadap teknologi, modal, dan pasar global semakin dibatasi oleh blok-blok ekonomi yang tertutup, negara berkembang dipaksa untuk menanggung beban ganda: stagnasi ekonomi domestik dan keterisolasian dari tatanan ekonomi global yang dulu mereka andalkan.

 Strategi Alternatif di Era Pasca-Globalisasi

Dalam lanskap ekonomi yang tidak lagi ditopang oleh arus modal global yang stabil, negara-negara berkembang menghadapi kebutuhan mendesak untuk merumuskan ulang strategi pembangunan yang lebih resilien, mandiri, dan kontekstual. 

Ketergantungan terhadap FDI dan pasar ekspor harus secara perlahan digantikan oleh strategi yang berfokus pada penguatan kapasitas domestik dan daya tahan struktural terhadap guncangan eksternal.

Dalam konteks ini, reorientasi pembangunan nasional menjadi langkah penting, dimulai dari optimalisasi sumber daya lokal sebagai basis industrialisasi baru. 

Alih-alih terus bergantung pada sektor primer berbasis komoditas untuk ekspor, strategi pembangunan ke depan perlu menekankan hilirisasi industri, integrasi rantai pasok lokal, dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri.

Peran negara menjadi lebih sentral dalam proses ini, bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai aktor utama yang merancang, menggerakkan, dan melindungi proses transformasi ekonomi. 

Kebijakan industri yang terarah, insentif fiskal untuk produksi lokal, serta proteksi strategis terhadap sektor-sektor yang dianggap vital menjadi elemen penting dalam pembangunan pasca-globalisasi.

Di saat pasar global semakin tertutup, pasar domestik harus diberdayakan, tidak hanya sebagai arena konsumsi, tetapi juga sebagai laboratorium inovasi dan produksi. 

Dalam hal ini, keberdayaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi pilar utama, karena mereka tidak hanya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, tetapi juga memiliki kedekatan dengan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat lokal.

Selain penguatan basis produksi dalam negeri, kerja sama ekonomi regional dan selatan-selatan muncul sebagai alternatif strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap pusat-pusat kekuatan ekonomi global. 

Inisiatif seperti perdagangan intra-regional, pertukaran teknologi, dan pembentukan bank pembangunan regional menjadi instrumen penting untuk menciptakan ekosistem pertumbuhan yang lebih setara dan kontekstual.

Dalam pendekatan ini, solidaritas antarnegara berkembang bukanlah sekadar wacana politis, melainkan jalan praktis untuk membangun kekuatan kolektif menghadapi tatanan dunia yang semakin terfragmentasi.

Tidak kalah penting, pembangunan pasca-globalisasi menuntut keberanian untuk mendefinisikan ulang indikator keberhasilan pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak lagi cukup jika tidak disertai dengan ketahanan struktural, kedaulatan kebijakan, dan pemerataan hasil pembangunan.

Oleh karena itu, transformasi ke depan tidak hanya menyoal strategi teknokratis, tetapi juga visi politik yang kuat dan komitmen jangka panjang terhadap agenda pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.

 Kesimpulan

Gelombang penurunan investasi asing langsung yang terjadi secara global pada tahun 2025 bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari pergeseran mendasar dalam arsitektur ekonomi dunia.

Di tengah meningkatnya proteksionisme, rivalitas geopolitik, dan fragmentasi pasar internasional, tatanan global yang dahulu mengandalkan keterbukaan dan interdependensi kini bergeser menuju sistem yang lebih tertutup, eksklusif, dan bersifat strategis.

Negara-negara maju, dengan kapasitas fiskal dan teknologi yang tinggi, semakin berani menutup diri demi melindungi industri domestik dan memperkuat posisi tawar mereka dalam persaingan global. Namun di sisi lain, negara-negara berkembang yang selama ini menggantungkan pertumbuhannya pada aliran modal asing, justru menghadapi tekanan struktural yang makin dalam.

Ketika model pembangunan berbasis FDI kehilangan daya dorongnya, negara berkembang dihadapkan pada realitas baru yang menuntut redefinisi arah dan fondasi pembangunan nasional. Krisis ini seharusnya tidak hanya dibaca sebagai keterpurukan, tetapi juga sebagai peluang untuk mengembangkan model ekonomi alternatif yang lebih berakar pada kekuatan domestik.

Kemandirian industri, penguatan UMKM, pengembangan teknologi lokal, serta integrasi ekonomi regional menjadi pilar-pilar strategis yang tak bisa diabaikan. Dalam dunia yang semakin tidak pasti dan terdorong oleh kalkulasi kekuasaan, kemampuan suatu negara untuk mengelola dan mengoptimalkan sumber dayanya sendiri menjadi ukuran utama dari ketahanan dan kedaulatannya.

Maka dari itu, masa depan pembangunan di era pasca-globalisasi tidak lagi bergantung pada besarnya arus modal yang masuk dari luar, melainkan pada sejauh mana negara mampu membangun kapasitas internal yang tangguh, mengembangkan kerja sama berbasis kesetaraan, dan memastikan bahwa pembangunan tidak hanya tumbuh, tetapi juga merata.

Pergeseran paradigma ini menandai awal dari fase baru dalam sejarah ekonomi global, di mana daya tahan menjadi nilai utama, dan kedaulatan ekonomi menjadi syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun