Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Viralitas Budaya dan Potensi Wisata Digital

4 Juli 2025   15:28 Diperbarui: 4 Juli 2025   15:28 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pacu Jalur, tradisi lomba perahu ala masyarakat Melayu Riau. (Sumber Foto: Dok. Kemenparekraf via Kompas.com )

Indonesia adalah negeri yang kaya melimpah akan budaya dari Sabang sampai Merauke. Ragam ritual, upacara adat, tarian, musik, kuliner, dan kerajinan tangan yang sarat makna seolah menjadi relung hati bangsa. 

Apresiasi terhadap keanekaragaman budaya ini sudah terjadi sejak lama, namun dalam beberapa tahun terakhir, fenomena viralitas budaya melalui konten digital memberikan perspektif baru dan potensi luar biasa dalam menggarap sektor pariwisata digital.

Sebuah video Pacu Jalur dari Kuantan Singingi, Riau, misalnya, tiba-tiba mencuri perhatian warganet dunia. Seorang bocah lelaki tampil memberanikan diri dalam atraksi mendayung dengan aura yang---jika boleh dikata---"badass". 

Gerakan dinamis, sorot mata yang penuh semangat, dan tradisi mendalam yang terpancarkan secara otentik mampu menembus batas geografis.

Viralitas budaya itu menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana media sosial mampu menjadikan festival lokal sebagai magnet wisata global, dan apa elemen strategi yang dapat ditarik untuk mendorong hal serupa?

Menyulut Semangat Lokal, Menggaungkan di Ranah Global

Dalam masyarakat tradisional, festival budaya seperti Pacu Jalur dijalankan dengan alasan utama ritual---misalnya sebagai doa untuk hasil panen, keselamatan para pendayung, atau semata penghormatan pada leluhur. Nilai-nilai spiritual inilah yang menjadi nadi dari festival tersebut. 

Namun, di era digital, lebih dari ritual, konten visual dan narasi yang dibungkus dalam platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memegang peran utama dalam menyebarluaskan pesona budaya.

Apa yang terjadi dengan video seorang anak di Pacu Jalur Riau menjadi contoh konkret: ketulusan dan semangat lokal diekspresikan sangat kuat dalam durasi pendek (sekitar 30--60 detik), cukup untuk memancing rasa ingin tahu dan decak kagum khalayak secara global. 

Viralitas muncul bukan hanya atas keunikan gerak dan aksi, tetapi juga atas kualitas sinema amatir ala wartawan sosial: dari sudut kamera yang menarik, audio asli, hingga caption yang menimbulkan empati dan rasa penasaran. 

Hal ini menunjukkan bahwa suatu festival lokal dapat mendunia jika dikemas dalam narasi yang otentik, difilmkan dengan sensitivitas estetika, dan disambungkan melalui platform digital yang tepat sasaran.

Digitalisasi Budaya: Jalur Menuju wisata Digital dan Ekonomi Kreatif

Turut viralnya video budaya tradisional membuka pintu lebar bagi pembangunan pariwisata berbasis digital atau digital tourism. 

Tidak seperti pariwisata konvensional yang menuntut atraksi besar, biaya tinggi, dan infrastruktur padat, wisata digital memungkinkan pengalaman budaya lokal dijangkau siapa saja secara virtual:

  1. Konten Pendek dan Menarik
    Pengunjung virtual cukup terpapar satu video berdurasi 30--60 detik dengan tagar yang tepat, mendulang ratusan ribu bahkan jutaan views. Hal ini memicu rasa ingin tahu lebih dalam dan mendorong mereka merencanakan kunjungan.

  2. Kolaborasi dengan Kreator Digital
    Para pelaku festival perlu bekerjasama dengan influencer lokal atau global untuk menghadirkan video wearable---dengan memanfaatkan teknologi 360, VR, atau live streaming. Konten seperti ini desainnya tidak hanya naratif, tetapi juga interaktif: misalnya, tur virtual menikmati kain tenun Raja Ampat secara langsung.

  3. Paket Budaya & Merchandising Digital
    Saat viralitas terjadi, orang akan mencari tahu, tertarik membeli---ini bisa dijajaki lewat penawaran digital: ebook cerita rakyat, paket musik tradisional, bahkan kurasi NFT motif tenun.

Dengan memadukan festival budaya dan teknologi, maka bukan hanya pengalaman digital saja yang tumbuh, tetapi juga kesempatan baru bagi pelaku lokal---penampil, perajin, pelayan, atau pengusaha lokal---untuk mendapatkan penghasilan lewat branding, edukasi, dan penukaran nilai digital ke ekonomi nyata.

Tantangan dan Jalan Menuju Marching Digital Budaya

Tentu bukan tanpa tantangan. Pertama, kultur promosi tradisional di daerah masih terbatas. Banyak festival amatir, minim dokumentasi pendukung, serta tidak menjalin kemitraan intensif dengan ahli crowdfunding atau pemasaran digital. 

Akhirnya narasi festival tetap terjebak di saku komunitas lokal, tidak 'terdengar' di jagat maya.

Kedua, legitimasi produksi digital menjadi persoalan. Jika hanya dibikin video gaya "cover dance", tanpa memuat konteks historis, filsafat ritual, dan kekayaan narasi lokal, publik hanya memperoleh hiburan dangkal. 

Viral, iya; tapi apakah memperkaya wawasan mereka? Belum tentu. Di sinilah aspek kredibilitas budaya harus dijaga: video viral harus mampu bicara siapa, apa, mengapa, kapan, dan bagaimana festival itu muncul.

Ketiga, aset digital budaya seperti hak cipta, hak atas gambar, hak komersial perlu dikelola, bahkan diformalkan. Tanpa manajemen ini, ekonomi kreatif gampang tertular klaim tidak beretika, atau hukuman tak dilindungi.

Untuk menjembatani itu, beberapa desa adat di Jawa dan Bali telah menggandeng portal pariwisata dan Kampus, mencetak workshop dokumentasi digital bagi pemuda lokal. 

Hasilnya adalah festival tradisi yang ditayangkan secara live onsite, lengkap dengan subtitle, soundtrack cerita, sesi Q&A online, bahkan paket merchandise batik lokal yang bisa dipesan via WhatsApp.

Kesimpulan

Apa yang diraih oleh video anak Pacu Jalur Riau di jagat maya adalah contoh nyata bahwa digital tourism bukan lagi mimpi---ia sudah berlangsung di depan mata. 

Festival budaya, jika dikemas secara otentik, difasilitasi secara profesional, dan dipromotori secara strategis, bisa melahirkan efek domino:

  • Ratusan ribu views menumbuhkan ketertarikan mendatangkan turis virtual & nyata

  • Kesadaran budaya apresiasi global terbangunnya ekonomi kreatif lokal

  • Konten digital lompatan pengenalan dan cerita budaya melintasi batas sosial, geografis, dan bahasa

Rasanya, hal ini sudah sangat relevan dengan cara baru menikmati budaya---lebih cerdas, lebih digital, lebih inklusif. 

Kini tergantung kita: apakah festival-festival budaya di berbagai daerah jadi "disimpan" dalam album foto, atau diposisikan sebagai narasi visual yang memikat dunia?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun