Turut viralnya video budaya tradisional membuka pintu lebar bagi pembangunan pariwisata berbasis digital atau digital tourism.Â
Tidak seperti pariwisata konvensional yang menuntut atraksi besar, biaya tinggi, dan infrastruktur padat, wisata digital memungkinkan pengalaman budaya lokal dijangkau siapa saja secara virtual:
Konten Pendek dan Menarik
Pengunjung virtual cukup terpapar satu video berdurasi 30--60 detik dengan tagar yang tepat, mendulang ratusan ribu bahkan jutaan views. Hal ini memicu rasa ingin tahu lebih dalam dan mendorong mereka merencanakan kunjungan.-
Kolaborasi dengan Kreator Digital
Para pelaku festival perlu bekerjasama dengan influencer lokal atau global untuk menghadirkan video wearable---dengan memanfaatkan teknologi 360, VR, atau live streaming. Konten seperti ini desainnya tidak hanya naratif, tetapi juga interaktif: misalnya, tur virtual menikmati kain tenun Raja Ampat secara langsung. Paket Budaya & Merchandising Digital
Saat viralitas terjadi, orang akan mencari tahu, tertarik membeli---ini bisa dijajaki lewat penawaran digital: ebook cerita rakyat, paket musik tradisional, bahkan kurasi NFT motif tenun.
Dengan memadukan festival budaya dan teknologi, maka bukan hanya pengalaman digital saja yang tumbuh, tetapi juga kesempatan baru bagi pelaku lokal---penampil, perajin, pelayan, atau pengusaha lokal---untuk mendapatkan penghasilan lewat branding, edukasi, dan penukaran nilai digital ke ekonomi nyata.
Tantangan dan Jalan Menuju Marching Digital Budaya
Tentu bukan tanpa tantangan. Pertama, kultur promosi tradisional di daerah masih terbatas. Banyak festival amatir, minim dokumentasi pendukung, serta tidak menjalin kemitraan intensif dengan ahli crowdfunding atau pemasaran digital.Â
Akhirnya narasi festival tetap terjebak di saku komunitas lokal, tidak 'terdengar' di jagat maya.
Kedua, legitimasi produksi digital menjadi persoalan. Jika hanya dibikin video gaya "cover dance", tanpa memuat konteks historis, filsafat ritual, dan kekayaan narasi lokal, publik hanya memperoleh hiburan dangkal.Â
Viral, iya; tapi apakah memperkaya wawasan mereka? Belum tentu. Di sinilah aspek kredibilitas budaya harus dijaga: video viral harus mampu bicara siapa, apa, mengapa, kapan, dan bagaimana festival itu muncul.
Ketiga, aset digital budaya seperti hak cipta, hak atas gambar, hak komersial perlu dikelola, bahkan diformalkan. Tanpa manajemen ini, ekonomi kreatif gampang tertular klaim tidak beretika, atau hukuman tak dilindungi.