Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apakah Kota Jakarta Masih Layak Dihuni?

3 Juli 2025   13:22 Diperbarui: 4 Juli 2025   07:57 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pagi yang mendung di Jakarta, Senin 3 Juli 2025, layar-layar ponsel menampilkan angka yang mengkhawatirkan: Indeks Kualitas Udara (AQI) mencapai 124, masuk dalam kategori "Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif". 

Di saat yang sama, suhu 25C, kelembapan 89%, dan kecepatan angin hanya 2 km/jam memperparah stagnasi udara di ibu kota.

Langit Jakarta tak lagi biru---ia berubah menjadi abu-abu pucat yang mengisyaratkan krisis senyap. Masyarakat terpaksa mengenakan masker, bukan karena pandemi, tapi karena udara yang tidak lagi aman untuk dihirup. 

Pertanyaannya: masihkah kota ini layak untuk dihuni?

Kota dan Standar Kelayakan Huni

Layak huni bukan sekadar bisa ditempati, tetapi juga harus mampu menunjang hidup yang sehat, aman, dan bermartabat. Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), indikator kelayakan sebuah kota meliputi stabilitas, layanan kesehatan, budaya, pendidikan, dan infrastruktur lingkungan.

Sementara itu, WHO menekankan pentingnya kualitas udara, akses air bersih, serta ruang terbuka hijau sebagai komponen esensial. Dengan parameter ini, banyak kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, justru menunjukkan tanda-tanda degradasi kualitas hidup.

Sebagian besar kota besar di dunia merujuk pada indikator kelayakan yang mencakup lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur. 

Kelayakan huni (liveability) berbicara tentang kualitas kehidupan sehari-hari: apakah udara yang dihirup bersih, apakah anak-anak bisa bermain di ruang terbuka, dan apakah transportasi umum aman serta nyaman digunakan.

Dalam Global Liveability Index 2024 yang disusun oleh EIU, kota-kota seperti Wina, Kopenhagen, dan Zurich berada di posisi teratas karena menawarkan kombinasi harmonis antara kesehatan lingkungan, keamanan publik, efisiensi transportasi, serta keseimbangan antara kawasan hijau dan kawasan industri.

Sebaliknya, kota seperti Jakarta menunjukkan anomali: pembangunan vertikal berjalan pesat, tapi sering kali mengorbankan ruang hijau dan menciptakan zona panas urban (urban heat island). 

Dalam konteks ini, AQI menjadi semacam "rapor merah" yang menandakan bahwa kota telah gagal memenuhi salah satu syarat dasar keberhunian: udara bersih.

Realitas Jakarta dan Kota-Kota Besar Lainnya

Pada hari yang sama saat AQI Jakarta mencapai 124, kota Krian di Jawa Timur mencatat angka 172, Tangerang Selatan 149, dan Bandung 132---semuanya termasuk dalam kategori tidak sehat. 

Meski tingkat polusi bervariasi, pola umumnya sama: pertumbuhan kota yang tidak diimbangi dengan keberlanjutan lingkungan.

Jakarta, dengan kepadatan penduduk lebih dari 15.000 jiwa per kilometer persegi, menghadapi tantangan akut: kendaraan bermotor pribadi mendominasi jalanan, emisi industri tak terpantau secara konsisten, dan pemanfaatan energi bersih masih sangat minim. 

Ruang terbuka hijau yang idealnya mencakup minimal 30% dari luas kota, kini hanya sekitar 9,98%.

Polusi udara bukan semata-mata akibat teknis, melainkan juga akibat dari desain kota yang tidak manusiawi---yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek ketimbang kesejahteraan jangka panjang warga. Seolah kota dirancang bukan untuk ditinggali, melainkan untuk dipacu terus menerus hingga melewati batas daya dukungnya.

Konsekuensi Sosial dan Psikologis

Ketika udara kota menjadi racun yang mengambang tanpa warna dan bau, maka dampaknya tidak hanya fisik, tetapi juga meresap ke dalam aspek psikologis dan sosial warga. 

Penelitian dari Harvard T.H. Chan School of Public Health (2023) menunjukkan bahwa paparan polusi udara kronis berkaitan erat dengan peningkatan gangguan kecemasan, depresi, dan penurunan fungsi kognitif---khususnya pada anak-anak dan lansia.

Di Jakarta, kelompok-kelompok rentan seperti pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, dan anak-anak sekolah menjadi garda depan yang setiap hari harus menghirup udara dengan partikel halus (PM2.5) melebihi ambang batas WHO. 

Masker dan air purifier mungkin tersedia bagi mereka yang mampu, namun tidak bagi semua orang.

Inilah bentuk ketimpangan lingkungan yang jarang dibahas: siapa yang berhak atas udara bersih? Kenyataan bahwa kualitas udara kini menjadi "privilege" menunjukkan betapa dalamnya ketidakadilan struktural yang tercipta. Kota yang ideal seharusnya menghapuskan perbedaan ini---bukan memperparahnya.

Apakah Masih Bisa Diperbaiki?

Meski situasinya tampak suram, kota tidaklah entitas yang statis. Kota adalah organisme hidup yang bisa dibentuk ulang oleh warganya sendiri---asal ada kemauan politik dan kesadaran kolektif.

Solusi jangka pendek seperti penggunaan masker, pembatasan kendaraan di hari tertentu, dan peningkatan kesadaran publik melalui kampanye AQI tentu penting. Namun, semua itu bersifat kuratif, bukan preventif. Kota membutuhkan strategi struktural:

  • Pembangunan ruang hijau mikro dan vertikal di permukiman padat.
  • Reformasi tata kota agar kawasan industri tidak berdekatan dengan permukiman.
  • Inovasi energi bersih dan transportasi publik ramah lingkungan.
  • Monitoring dan transparansi data emisi industri secara real time.

Selain itu, partisipasi warga dalam menyuarakan hak atas udara bersih menjadi krusial. Platform komunitas, media, hingga inisiatif warga dapat menekan pemerintah untuk bertindak lebih cepat dan terukur.

Penutup

Ketika pertanyaan "Apakah kota kita masih layak dihuni?" diajukan, maka jawabannya tidak bisa hanya dilihat dari sisi fasilitas atau indeks ekonomi. Kota yang layak bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat tumbuh dan hidup secara bermartabat.

Jika udara yang kita hirup setiap hari membuat anak-anak sulit bernapas, jika langit terus tertutup kabut polusi, dan jika solusi yang diambil hanya menambal kerusakan tanpa membenahi akarnya, maka mungkin kita tidak sedang tinggal di kota---melainkan bertahan hidup di dalamnya.

Namun harapan belum sepenuhnya hilang. Kota masih bisa diselamatkan, selama kita tidak menganggap krisis ini sebagai "normal baru." 

Dibutuhkan keberanian untuk mendesain ulang ruang urban, tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari nilai kemanusiaan yang mengutamakan hak dasar: bernafas tanpa takut.

Saatnya mengubah narasi dari "beradaptasi dengan polusi" menjadi "menuntut kota yang adil dan berkelanjutan." Karena kota bukan hanya bangunan dan jalanan, tetapi tentang orang-orang di dalamnya---dan mereka layak hidup sehat.

Oleh: Julianda Boang Manalu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun