Pada pagi yang mendung di Jakarta, Senin 3 Juli 2025, layar-layar ponsel menampilkan angka yang mengkhawatirkan: Indeks Kualitas Udara (AQI) mencapai 124, masuk dalam kategori "Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif".Â
Di saat yang sama, suhu 25C, kelembapan 89%, dan kecepatan angin hanya 2 km/jam memperparah stagnasi udara di ibu kota.
Langit Jakarta tak lagi biru---ia berubah menjadi abu-abu pucat yang mengisyaratkan krisis senyap. Masyarakat terpaksa mengenakan masker, bukan karena pandemi, tapi karena udara yang tidak lagi aman untuk dihirup.Â
Pertanyaannya: masihkah kota ini layak untuk dihuni?
Kota dan Standar Kelayakan Huni
Layak huni bukan sekadar bisa ditempati, tetapi juga harus mampu menunjang hidup yang sehat, aman, dan bermartabat. Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), indikator kelayakan sebuah kota meliputi stabilitas, layanan kesehatan, budaya, pendidikan, dan infrastruktur lingkungan.
Sementara itu, WHO menekankan pentingnya kualitas udara, akses air bersih, serta ruang terbuka hijau sebagai komponen esensial. Dengan parameter ini, banyak kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, justru menunjukkan tanda-tanda degradasi kualitas hidup.
Sebagian besar kota besar di dunia merujuk pada indikator kelayakan yang mencakup lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur.Â
Kelayakan huni (liveability) berbicara tentang kualitas kehidupan sehari-hari: apakah udara yang dihirup bersih, apakah anak-anak bisa bermain di ruang terbuka, dan apakah transportasi umum aman serta nyaman digunakan.
Dalam Global Liveability Index 2024 yang disusun oleh EIU, kota-kota seperti Wina, Kopenhagen, dan Zurich berada di posisi teratas karena menawarkan kombinasi harmonis antara kesehatan lingkungan, keamanan publik, efisiensi transportasi, serta keseimbangan antara kawasan hijau dan kawasan industri.
Sebaliknya, kota seperti Jakarta menunjukkan anomali: pembangunan vertikal berjalan pesat, tapi sering kali mengorbankan ruang hijau dan menciptakan zona panas urban (urban heat island).Â