Menguji Batas Kewajaran dalam UU Hak CiptaÂ
Oleh: Julianda Boang Manalu
Dalam beberapa tahun terakhir, isu pelanggaran hak cipta di Indonesia mengalami peningkatan atensi, seiring dengan semakin kuatnya penegakan hukum di bidang kekayaan intelektual. Salah satu sorotan publik yang mencuat adalah gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh musisi Nazril Ilham (Ariel Noah) bersama 28 musisi lainnya.Â
Dalam gugatan tersebut, para pemohon menyoroti potensi kriminalisasi terhadap musisi atau pelaku hiburan yang membawakan lagu tanpa izin eksplisit dari pencipta, meskipun telah membayar royalti.
Permasalahan ini menjadi semakin kompleks ketika praktik penggunaan lagu terjadi dalam ruang yang tidak sepenuhnya komersial, seperti acara pernikahan.Â
Dalam sidang Mahkamah Konstitusi, Hakim Arsul Sani mempertanyakan, apakah menyanyi dalam perayaan pernikahan yang mengundang ribuan tamu termasuk kegiatan yang wajib membayar royalti.Â
Pertanyaan ini menyentuh titik krusial dalam penerapan UU Hak Cipta: di mana batas antara penggunaan pribadi dan komersial? Apakah skala acara menentukan kewajiban hukum, atau adakah elemen lain yang menjadi dasar penilaian?
Tulisan ini akan mengulas secara kritis konsep "kewajaran" dalam penggunaan karya cipta, serta mempertanyakan apakah instrumen hukum yang ada saat ini cukup adaptif dalam merespons dinamika sosial dan budaya di masyarakat.Â
Dengan menelusuri tafsir normatif, praktik internasional, serta prinsip keadilan, tulisan ini berusaha menawarkan perspektif baru dalam membingkai hak cipta bukan sekadar sebagai alat proteksi, melainkan juga sebagai sarana membangun ekosistem budaya yang inklusif dan berimbang.
Konsep Hak Cipta
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mendefinisikan hak cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.Â
Hak ini meliputi hak moral dan hak ekonomi, dengan hak ekonomi memungkinkan pencipta mendapatkan manfaat komersial dari ciptaannya.
Pasal 9 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa penggunaan ciptaan orang lain harus mendapatkan izin dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Namun, Pasal 44 ayat (1) huruf d memberi pengecualian atas penggunaan tersebut dalam batas kewajaran, yang kemudian menjadi titik perdebatan dalam praktik.
Konsep "batas kewajaran" dalam hukum hak cipta merujuk pada penggunaan ciptaan tanpa izin yang masih dianggap sah karena tidak merugikan secara signifikan hak ekonomi pencipta. Di Indonesia, pengaturannya bersifat umum dan belum sejelas sistem fair use di Amerika Serikat atau fair dealing di Inggris dan Australia.
Unsur utama yang biasa dipertimbangkan dalam doktrin kewajaran (fairness test):
Tujuan dan karakter penggunaan (komersial atau non-komersial)
Sifat dari ciptaan yang digunakan
Jumlah dan substansi bagian ciptaan yang digunakan
Dampak penggunaan terhadap potensi pasar atau nilai ekonomi dari ciptaan tersebut
Dalam konteks acara pernikahan, yang seringkali bersifat sosial dan tidak mengenakan tiket masuk, muncul pertanyaan apakah penggunaan lagu di dalamnya dapat dianggap melanggar hak ekonomi pencipta.
Dalam pendekatan utilitarian, hukum hak cipta bertujuan untuk mendorong penciptaan karya baru dengan memberikan insentif ekonomi, namun harus tetap menjamin akses publik terhadap karya tersebut.Â
Oleh karena itu, pembatasan hak cipta lewat konsep fair use sejatinya juga melindungi kepentingan masyarakat.
Sejumlah ahli hukum kekayaan intelektual seperti William Fisher dan Lawrence Lessig berpendapat bahwa pendekatan yang terlalu kaku dalam penerapan hak cipta justru bisa menghambat inovasi dan ekspresi budaya.Â
Hal ini relevan dalam konteks penggunaan lagu pada acara pribadi, yang sejatinya juga merupakan bagian dari tradisi dan ekspresi sosial masyarakat.
Analisis Hukum terhadap Batas Kewajaran dalam UU Hak Cipta
Secara normatif, UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 memang mengatur hak eksklusif pencipta atas penggunaan karyanya.Â
Namun, Pasal 44 ayat (1) huruf d secara eksplisit menyatakan beberapa pengecualian, salah satunya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak me rugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta ---tetapi tidak menyebut secara tegas acara sosial seperti pernikahan atau hajatan masyarakat.
Hal ini menciptakan area abu-abu (gray area) dalam penerapan hukum.Â
Di satu sisi, penyanyi atau band yang tampil di acara pernikahan menggunakan lagu-lagu populer dan bisa dianggap mengambil manfaat ekonomi dari karya orang lain.Â
Di sisi lain, acara ini tidak mengenakan tiket, tidak ditujukan untuk mencari laba, dan bersifat privat (meski skalanya besar).
Jika kita merujuk pada penafsiran sistematis dan teleologis, seharusnya hukum tidak dimaknai secara tekstual semata, melainkan juga memperhatikan tujuan sosial dari perlindungan hak cipta. Maka, penegakan hak cipta atas pernikahan atau acara sejenis harus mempertimbangkan:
Apakah acara tersebut bersifat komersial?
Apakah pihak penyelenggara mengambil keuntungan dari musik yang ditampilkan?
Apakah ada niat mengeksploitasi ekonomi dari karya tersebut?
Pada praktik Internasional di beberapa negara seperti Jerman dan Belanda, membebaskan acara non-komersial dan berskala pribadi dari kewajiban membayar royalti.Â
Amerika Serikat, menggunakan prinsip fair use dan menetapkan bahwa penggunaan lagu di acara privat bukanlah pelanggaran hak cipta jika tidak merugikan pemegang hak secara signifikan.
Malaysia, mewajibkan izin dan pembayaran royalti jika acara menggunakan jasa profesional (misalnya hotel, penyanyi profesional), meskipun acara bersifat privat.
Dalam konteks Indonesia, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) telah memperluas cakupan penarikan royalti hingga ke tempat umum seperti hotel, kafe, hingga salon, dan bahkan mulai menyasar penyelenggaraan pesta pernikahan.Â
Hal ini menunjukkan kecenderungan penafsiran hukum yang lebih ketat terhadap penggunaan karya cipta.
Namun demikian, penarikan royalti tanpa batasan dan tanpa memperhatikan sifat acara dapat menimbulkan ekses negatif, termasuk potensi kriminalisasi masyarakat umum, seperti yang dikhawatirkan oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani (KOMPAS.COM).
Kunci dari persoalan ini bukanlah semata-mata pada perlindungan hukum, melainkan pada keadilan dalam penerapannya. Penegakan hak cipta yang tidak membedakan antara kegiatan komersial dan non-komersial berisiko menciptakan ketimpangan akses terhadap budaya dan hiburan.
Prinsip proportionality dalam hukum modern menekankan bahwa pembatasan terhadap kebebasan harus sepadan dengan tujuan perlindungan yang dimaksud. Maka, dalam konteks acara pernikahan, kewajiban membayar royalti harus diuji secara proporsional:
Jika penyelenggara menyewa penyanyi profesional, namun tidak memperoleh keuntungan, apakah masih wajib membayar royalti?
Jika lagu hanya digunakan sebagai bagian dari hiburan informal dan tidak direkam atau disiarkan ulang, apakah dampaknya cukup signifikan bagi pencipta?
Usulan Kebijakan dan Rekomendasi HukumÂ
Untuk merespons ketidakjelasan norma dalam penerapan hak cipta pada konteks acara sosial non-komersial seperti pernikahan, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih presisi, adil, dan berimbang antara kepentingan pencipta dan masyarakat pengguna.Â
Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah merevisi ketentuan dalam Undang-Undang Hak Cipta agar secara eksplisit membedakan antara penggunaan karya cipta dalam konteks komersial dan non-komersial.Â
Pembedaan ini krusial agar tidak semua penggunaan lagu yang melibatkan audiens atau pertunjukan langsung secara otomatis diasumsikan sebagai bentuk eksploitasi ekonomi.Â
Dalam konteks acara pernikahan yang bersifat privat dan tidak memungut biaya masuk, beban pembayaran royalti seharusnya tidak diberlakukan secara mutlak, kecuali terdapat elemen komersialisasi seperti sponsor, penjualan tiket, atau penyiaran ke publik.
Selain itu, pendekatan kategorisasi acara berdasarkan skala dan tujuan penyelenggaraannya juga penting untuk diterapkan.Â
Dengan adanya sistem klasifikasi seperti ini, acara sosial yang kecil dan tidak bertujuan mencari laba bisa dibebaskan dari kewajiban royalti, sementara acara yang meskipun sosial namun berskala besar dan mengundang penyanyi profesional tetap bisa dikenakan royalti ringan secara proporsional.Â
Pendekatan ini akan lebih mencerminkan rasa keadilan, sekaligus tetap menghargai hak ekonomi pencipta lagu.
Upaya lain yang dapat diambil adalah memperkuat mekanisme lisensi kolektif berbentuk lisensi umum atau blanket license.Â
Melalui skema ini, penyelenggara acara bisa mengakses hak penggunaan lagu-lagu tertentu secara sah hanya dengan satu kali pembayaran lisensi yang bersifat preventif dan tidak memberatkan.Â
Skema seperti ini sudah diterapkan di berbagai negara dan terbukti meminimalisasi konflik serta meningkatkan kepatuhan hukum dari masyarakat.
Namun, pembaruan regulasi saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kampanye edukasi yang masif.Â
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai hak cipta dan cara mematuhi aturan yang berlaku telah menjadi salah satu sumber utama kesalahpahaman dan pelanggaran yang tidak disengaja.
 Oleh karena itu, pemerintah bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional perlu aktif dalam menyosialisasikan panduan praktis bagi masyarakat umum, khususnya pelaku acara, agar mereka mengetahui kapan suatu karya harus dibayar, bagaimana cara legal memakainya, dan konsekuensi hukum dari pelanggaran.
Akhirnya, proses uji materiil seperti yang diajukan oleh Ariel dan kawan-kawan menjadi bukti penting bahwa sistem hukum perlu dievaluasi secara berkala agar tetap adaptif terhadap perkembangan sosial dan budaya.Â
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusionalitas norma hukum sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap hak cipta dengan prinsip keadilan sosial, sehingga hukum tidak kehilangan legitimasi dan diterima secara luas oleh publik.
Kesimpulan
Diskursus mengenai batas kewajaran dalam penggunaan karya cipta, khususnya dalam konteks acara sosial non-komersial seperti pernikahan, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali ketentuan normatif dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.Â
Meskipun hak cipta merupakan hak eksklusif yang dijamin secara hukum, penerapannya tidak dapat dilakukan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan kepentingan umum.Â
Ketika hukum mulai memasuki ruang-ruang ekspresi sosial masyarakat tanpa mekanisme pembeda yang jelas antara komersialitas dan kekeluargaan, maka potensi penyalahgunaan dan kriminalisasi terbuka lebar.
Melalui analisis hukum dan perbandingan praktik internasional, terlihat bahwa banyak negara mengedepankan prinsip proporsionalitas dan keadilan sosial dalam menentukan apakah suatu penggunaan karya cipta patut dikenakan royalti.Â
Indonesia sebaiknya mengikuti jejak tersebut dengan mengembangkan pendekatan hukum yang lebih fleksibel namun tetap menjaga hak pencipta.Â
Reformulasi pasal pengecualian, pengembangan skema lisensi yang ringan dan inklusif, serta edukasi publik yang sistematis, adalah langkah konkret untuk menciptakan sistem perlindungan hak cipta yang tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga adil dan kontekstual.
Dengan demikian, penegakan hukum hak cipta di Indonesia ke depan harus mampu membedakan antara pelanggaran yang bersifat eksploitasi ekonomi dengan ekspresi sosial yang tidak merugikan pencipta.Â
Prinsip keadilan, proporsionalitas, dan perlindungan budaya lokal harus menjadi landasan utama dalam membangun sistem hukum kekayaan intelektual yang beradab dan berpihak pada kepentingan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI