Mohon tunggu...
Robbaldan Mughni Tanaya
Robbaldan Mughni Tanaya Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga

In it, i became a hero. I had adventures, loved and dreamt. Thus, i read, read, and read again.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengurai Kode Komunikasi: Cara Kita Mengetahui Apa Yang Tidak Dikatakan

10 Oktober 2025   03:08 Diperbarui: 10 Oktober 2025   03:17 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia kini terasa semakin kecil. Kita berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang budaya setiap hari, di kantor, di layar ponsel, atau bahkan di media sosial. Namun, di balik kemudahan teknologi, ada satu masalah yang sering kita abaikan: kita semua membawa "kode komunikasi" yang berbeda.

Masalah terbesar bukanlah kosakata; masalahnya adalah konteks. Kita semua punya asumsi tentang seberapa banyak yang harus diucapkan dan seberapa banyak yang harus dipahami secara diam-diam. Inilah inti dari dua gaya komunikasi yang mendasar: konteks-tinggi (high-context) dan konteks-rendah (low-context).

Konsep ini, yang dipopulerkan oleh antropolog Edward T. Hall, menjelaskan mengapa pesan yang tulus dari satu pihak bisa terasa kasar atau membingungkan di pihak lain. Memahami perbedaan ini bukan sekadar teori, tetapi kunci kelancaran kerja sama, terutama saat berhadapan dengan pasar global yang makin sibuk.

Konteks-Rendah: Jelas, Lugas, dan Langsung
Coba bayangkan sebuah ruang kerja di Jerman atau Amerika Serikat. Di sana, waktu adalah uang, dan efisiensi adalah dewa. Gaya komunikasi yang dominan adalah konteks-rendah.

Dalam budaya ini, yang diutamakan adalah keterusterangan, logika, dan kejelasan absolut. Pesan harus berdiri sendiri. Artinya, semua yang penting harus dikatakan atau ditulis secara eksplisit agar tidak ada ruang untuk tebakan atau interpretasi yang salah.

Apa yang kita lihat di budaya Konteks-Rendah:

Aturan Tertulis Wajib: Segala hal penting, mulai dari kontrak hingga petunjuk kerja, harus didokumentasikan dengan rinci. Mereka percaya, jika tidak ada di atas kertas, maka itu tidak ada.

Umpan Balik To The Point: Jika ada masalah, mereka akan langsung mengatakannya. Mereka melihat basa-basi sebagai pemborosan waktu yang tidak perlu. Kritik disampaikan dengan jelas karena tujuannya adalah memecahkan masalah secepat mungkin.

Hubungan Formal: Hubungan pribadi dan pekerjaan dipisahkan secara ketat. Anda bisa bekerja sangat efektif dengan seseorang tanpa harus mengenalnya secara mendalam di luar kantor. Pekerjaan adalah prioritas.

Misalnya, seorang manajer dari New York hanya mengirimkan email singkat: "Saya butuh data penjualan Q3 hari ini jam 5 sore. Terima kasih." Di mata mereka, ini adalah komunikasi yang profesional dan menghormati waktu. Mereka berasumsi penerima tahu tugasnya dan tidak perlu dimotivasi dengan kalimat manis.

Konteks-Tinggi: Pentingnya Ikatan dan Subteks
Sekarang, bayangkan sebuah pertemuan di Jakarta, Tokyo, atau negara-negara di Timur Tengah. Di sini, hubungan pribadi dan rasa hormat adalah segalanya. Gaya komunikasinya adalah konteks-tinggi.

Dalam budaya ini, hanya sebagian kecil pesan yang diucapkan. Sebagian besar maknanya terkandung dalam konteks, sejarah hubungan, isyarat non-verbal, dan hierarki sosial. Semuanya saling berkaitan dan perlu diperhatikan secara seksama.

Apa yang kita lihat di budaya Konteks-Tinggi:

Makna Tersirat Sangat Dominan: Komunikasi cenderung tidak langsung. Mereka mungkin menghindari kata "Tidak" secara langsung demi menjaga harmoni. Penolakan sering kali disampaikan dengan frasa seperti, "Itu ide yang menarik, tetapi... akan sangat sulit dilakukan saat ini."

Kepercayaan Dibangun Perlahan: Bisnis harus didahului oleh hubungan yang baik. Mereka akan menghabiskan waktu panjang untuk mengobrol santai, makan siang bersama, atau menanyakan kabar keluarga, ini bukan basa-basi kosong, melainkan investasi wajib untuk membangun kepercayaan.

Menjaga "Muka" (Face): Menghindari rasa malu atau mempermalukan orang lain di depan umum adalah nilai yang sangat penting (Gudykunst, 2005). Kritik disampaikan dengan hati-hati, sering kali melalui pihak ketiga atau dalam bentuk saran yang sangat umum, untuk menghindari menyakiti perasaan atau menjatuhkan harga diri.

Ketika karyawan di sini menerima email singkat dari New York ("Saya butuh data Q3 jam 5 sore."), mereka mungkin merasa terkejut atau bahkan tidak dihargai. Bagi mereka, email tanpa sapaan yang hangat atau basa-basi pembuka dianggap kasar, karena mengabaikan fondasi terpenting: hubungan pribadi.

Tiga Area Utama Munculnya Konflik Global
Gesekan komunikasi sering kali terjadi di tiga area utama saat kedua gaya ini bertemu:

1. Menangani Masalah dan Umpan Balik
Bayangkan seorang konsultan konteks-rendah berkata, "Anggaran kita salah besar di bagian pemasaran. Kita perlu perbaikan mendesak." Meskipun niatnya baik, di lingkungan konteks-tinggi, pernyataan yang begitu lugas di depan tim bisa dianggap agresif dan membuat pihak yang bersalah kehilangan muka.

Cara yang benar dalam konteks-tinggi adalah dengan mengatakan, "Secara keseluruhan, pekerjaan kita sudah baik, tetapi saya rasa ada peluang bagus untuk kita semua meningkatkan akurasi di beberapa area, terutama yang berkaitan dengan anggaran." Perubahan fokus dari kesalahan individu menjadi perbaikan kolektif adalah kunci untuk menjaga dinamika tim tetap positif.

2. Isu Waktu dan Kepercayaan
Perbedaan konteks ini juga memengaruhi cara kita mempersepsikan waktu, sebuah konsep yang disebut Kronemika oleh Hall (1976).

Budaya konteks-rendah cenderung monokronik (waktu linear). Mereka melihat waktu sebagai sumber daya terbatas yang harus diatur. Terlambat dianggap tidak profesional dan tidak menghormati jadwal.

Budaya konteks-tinggi seringkali polikronik (waktu fleksibel). Mereka lebih mementingkan hubungan yang sedang berjalan. Jika seseorang terlambat 15 menit karena sedang menyelesaikan percakapan penting dengan klien, mereka merasa mereka melakukan hal yang benar, menghormati orang yang sedang mereka ajak bicara. Namun, bagi pihak monokronik, ini hanya berarti mereka tidak diutamakan.

Lebih dari sekadar ketepatan waktu, ini memengaruhi kepercayaan. Konteks-rendah membangun Cognitive Trust (kepercayaan pada keandalan dan data), sementara Konteks-tinggi membangun Affective Trust (kepercayaan yang didasarkan pada ikatan emosional dan persahabatan).

3. Negosiasi Kontrak dan Komitmen
Dalam budaya konteks-rendah, kontrak yang ditandatangani adalah senjata utama. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk memastikan setiap pasal tertulis dengan sempurna.

Dalam budaya konteks-tinggi, komitmen lisan dan jaminan dari individu yang Anda percayai sering kali terasa lebih kuat daripada dokumen hukum. Negosiasi yang berlangsung lama tidak berarti ada perselisihan, tetapi itu adalah proses yang wajib untuk membangun fondasi keyakinan bersama sebelum komitmen serius dilakukan. Berusaha mempercepat proses ini di mata mereka justru menunjukkan ketidaksabaran atau kurangnya keseriusan.

Mengembangkan Keluwesan Budaya (Cultural Agility)
Di tengah hiruk pikuk global, kita tidak bisa hanya berharap semua orang akan beradaptasi dengan cara kita. Keberhasilan menuntut keluwesan budaya (cultural agility), yaitu kemampuan untuk secara sadar menyesuaikan gaya komunikasi kita sesuai dengan situasi dan lawan bicara (Meyer, 2014).

Menjadi komunikator global yang efektif berarti kita harus menjadi ahli ganti gaya. Kita harus sadar bahwa tidak ada satu gaya pun yang "lebih baik"; yang ada hanyalah gaya yang lebih efektif dalam konteks tertentu.

Langkah Praktis untuk Komunikator Konteks-Rendah (Menuju Konteks-Tinggi):

Sisipkan Pemanasan: Jangan langsung ke pokok bahasan. Mulailah setiap email atau pertemuan dengan sapaan hangat yang tulus (misalnya, menanyakan kabar keluarga atau hal non-bisnis lainnya).

Perhalus Bahasa: Ganti perintah langsung dengan permintaan yang lebih lembut. Alih-alih "Lakukan ini segera," gunakan "Bisakah Anda membantu saya menyelesaikan ini? Kami sangat menghargai upaya Anda."

Hormati Keheningan: Jika ada keheningan atau jawaban yang tidak langsung, jangan berasumsi mereka tidak setuju atau bingung. Beri mereka waktu dan ruang untuk menyusun jawaban mereka sesuai dengan cara yang sopan.

Langkah Praktis untuk Komunikator Konteks-Tinggi (Menuju Konteks-Rendah):

Jelaskan Secara Tertulis: Setelah mencapai kesepakatan lisan, kirimkan email yang sangat jelas dan terstruktur yang berisi poin-poin utama, siapa yang bertanggung jawab, dan tenggat waktu yang tepat. Ini memenuhi kebutuhan mereka akan dokumentasi.

Anggap Keterusterangan sebagai Normal: Jika seseorang memberikan umpan balik yang blak-blakan, jangan menganggapnya sebagai serangan pribadi. Anggaplah itu sebagai upaya profesional untuk efisiensi.

Tentukan Batasan Waktu: Saat menetapkan tenggat waktu, tekankan bahwa penundaan akan menimbulkan konsekuensi yang merugikan. Ini memberikan konteks yang kuat mengapa jadwal harus dipatuhi.

Pada akhirnya, komunikasi antarbudaya yang sukses adalah tentang kehati-hatian dan kerendahan hati. Kita harus bersedia melihat dunia bukan dari filter kacamata kita sendiri, melainkan dari lensa budaya orang lain. Dengan belajar membaca isyarat yang tidak terucapkan, kita dapat melewati batas-batas budaya dan membangun hubungan yang autentik dan produktif.

Oleh: 

Robbaldan Mughni Tanaya

Yuni Sari Amalia S.S., M.A., Ph.D

Referensi:


Gudykunst, W. B. (2005). Theorizing About Intercultural Communication. Sage Publications.

Hall, E. T. (1976). Beyond Culture. Anchor Books.

Meyer, E. (2014). The Culture Map: Breaking Through the Invisible Boundaries of Global Business. PublicAffairs.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun