Meskipun belum ada riset ilmiah  yang menunjukkan jika Indonesia merupakan negara ketiga dengan Fatherless "kurangnya peran ayah", namun isu tersebut sudah menjadi fenomena dan bahan diskusi beberapa tahun belakangan. Peran ayah dalam keluarga dianggap kurang, dan tidak hadir sepenuhnya dalam proses tumbuh kembang anak. Persoalan-persoalan rumahtangga dan kenakalan remaja yang terjadi juga sering dikaitkan sebagai dampak kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Pandangan mengenai fenomena fatherless itulah yang menjadi salah satu alasan Gerakan Ayah Mengantar Anak ke sekolah. Gerakan ini bagian dari program Sekolah Bersama Ayah yang merupakan implementasi program Gerakan Ayah Teladan Indonesia.Â
Mengantar Anak Sekolah, Tugas Siapa?
Tugas adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang untuk diselesaikan. Lalu jika demikian, siapakah pemberi dan penerima tanggungjawab rumahtangga dalam mengantar anak sekolah? keduanya adalah penerima tanggung jawab dari pemberian Tuhan. Oleh karena itu mengantar anak ke sekolah harusnya bukan menjadi tugas yang diperdebatkan, melainkan tanggungjawab bersama untuk dijalankan. Anak juga bukanlah objek dan benda mati, mereka berhak diperlakukan layak dan penuh kasih sayang. Ayah maupun Ibu punya andil yang sama baik dalam mengantar sekolah ataupun kegiatan anak lainnya. Lantas, seberapa genting peran Ayah di Indonesia sehingga kegiatan mengantar sekolah saja menjadi sebuah gerakan yang terprogram oleh pemerintah? hingga sampai diterbitkan surat edaran oleh Kepala BKKBN tentang Gerakan Mengantar Anak ke Sekolah.
Tidak ada yang salah dengan program tersebut, hanya saja apakah sudah dikaji secara matang solutif?Â
Sebuah gerakan biasanya dilakukan jika pada kondisi tertentu sudah sangat mengkhawatirkan, seperti gerakan lingkungan yang diadakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan, sampah, perubahan iklim dll. Lalu apa tujuan dari Gerakan Ayah Mengantar Anak ke Sekolah  ini? Benarkah persoalan peran ayah benar-benar kurang secara global? atau hanya euforia program saja?Jangan sampai program yang diadakan oleh pemerintah justru mendiskreditkan dan menyakiti pihak lain. Ingin mengangkat lagi peran ayah dalam pengasuhan, tapi mengabaikan perasaan anak-anak yang tidak memiliki Ayah, perempuan-perempuan yang tidak bersuami, anak-anak panti asuhan, anak-anak yang orangtuanya pergi merantau, atau anak-anak yang Ayahnya dinas luar kota.Â
Padahal, fenomena kurangnya peran ayah juga bisa dialami oleh perempuan. Artinya, jika mau dikaji lebih jauh mengenai pengasuhan anak, tidak sedikit yang mengalami kurangnya peran Ibu. Penyebabnya pun hampir sama yaitu karena kesibukan berkarir. Jadi kurangnya peran ayah dalam pengasuhan, bukan karena mereka hadir secara fisik saja namun tidak terlibat langsung secara emosional, melainkan hal-hal lain yang juga berpengaruh, seperti budaya dan lingkungan.
Normalisasi Ayah Mengantar Anak, Bukan Gerakan Ayah Mengantar Anak
Banyak faktor kenapa Ibu menjadi dominan sebagai orangtua yang mengantar sekolah dan terlibat penuh dalam pengasuhan. Perubahan status perempuan yang telah menikah dari sebelumnya sebagai pekerja menjadi ibu rumah tangga saat telah melahirkan, karena tidak ada yang mengasuh anak dirumah, tempat kerja yang tidak ramah anak, dan faktor-faktor lain sehingga Ibu memiliki waktu yang lebih fleksibel dibanding Ayah. Bukan berarti tidak ada peran Ayah, karena juga masih banyak Ayah yang bergantian dengan ibu mengantar dan menjemput anak ke sekolah jika keduanya adalah pekerja. Dan ittu bukan berarti peran masing-masing berkurang, tetapi semua tergantung komunikasi dan kesepakatan yang dibuat orangtua saat memutuskan memiliki anak. Mengantar anak ke sekolah harusnya bukan lagi sebuah gerakan yang di programkan pemerintah, tetapi kegiatan sehari-hari yang dinormalisasi. Jangan sampai program ini menjadi seperti halnya kebiasaan sarapan roti, tidak semua orang suka dengan roti, tidak semua orang terbiasa sarapan roti, tetapi karena satu kelompok menyukai sarapan roti dan melihat masih banyak yang tidak melakukannya, maka kelompok tersebut membuat gerakan sarapan roti sebagai tolok ukur sudah sarapan menggunakan kebiasaan yang mereka lakukan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI