Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lekha (1)

17 Maret 2020   15:03 Diperbarui: 19 Maret 2020   19:59 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saya Lekha. Tapi merasa senang kalau ada orang yangmemanggil saya L. Rasanya seperti ia tidak mengenal makna lain dari huruf L selain nama saya. Padahal apabila L dihilangan dari dunia, banyak kata kehilangan makna.”

“Apa lagi?”

“Saya punya seorang ibu. Ayah sudah lama meninggalkan kami. Katanya ia menemukan kebahagiaan lain. Aneh memang, ia mendefinisikankebahagiaan seperti orang-orang pada umumnya, padahal dulu saya kira ayah berbeda. Ibu seorang juru rias yang sukses. Ia juga punya sebuah sekolah rias. Banyak wanita yang memang sudah cantik dibuatnya lebih cantik lagi. Ibu menciptakan kebahagiaan bagi orang lain, tapi ia tidak mampu menciptakan kebahagiaannya sendiri.”

“Dengan sebutan apa Ibumu menyapa kebahagiaan? Apakah telah mati juga?”

“Tidak tahu. Mungkin kebahagiaannya Ayah. Tapi ia tidak mau mencari Ayah lagi, jadi mungkin juga bukan. Mungkin saya, semoga.”

“Apa lagi?”

 “Apa?”

“Apa saja. Misalnya, hal yang kamu sukai dari dirimu.”

“Saya suka mata bulat besar saya yang berwarna coklat. Saya juga suka rambut pendek seleher saya, mudah diatur.

“Apa yang kamu suka dari orang-orang lain?”

“Saya tidak suka orang-orang pada umumnya. Mereka suka tinggal di dunia ini. Mereka menerima semuanya seperti anak kecil yang mudahditipu. Mereka suka membeli topeng untuk mengubah wajah mereka dalam sekejab.


Mungkin mereka kaya, jadi sanggup membeli topeng sebanyak itu. Tapi saya bukantidak suka karenairi pada kekayaan mereka. Yang membuat saya iri, mereka kaya tetapi menukar kekayaan mereka dengan topeng. Mengapa tidak ditukar dengan kebaikan yang murni?”

“Apa kebaikan bisa dibeli di sini, Lekha?”

“Tidak. Namun jika semua orang mau membeli kebaikan, pasti akan ada yang menjualnya. Atau mereka juga bisa saling bertukar kebaikan. Imbalan jual beli tidak selalu uang, mereka juga tahu.”

“Bagaimana rasanya berpapasan dengan mereka setiap harinya?”

“Bagaimana rasanya menahan muntah?”

-

Hai, apa kabar?

Kisah ini adalah pengembangan dari cerita yang saya tulis lebih dari tiga tahun yang lalu (namun terhenti karena saya mengalami kebuntuan).

Perjalanan hidup tiga tahun ini (termasuk yang di alam bawah sadar) telah banyak menginspirasi saya untuk mengulik kisah ini lagi. Sejak awal, kisah ini memang dimaksudkan untuk dikembangkan menjadi cerita panjang. 

Sederhanya, seri ini akan didominasi percakapan-percakapan Lekha dan Sang Utusan. Meski terasa tidak ada maknanya, bisa jadi ada jika dibaca di pagi hari dalam keadaan mata sembab, siang hari di tengah keramaian yang menjemukan, atau pada malam-malam yang justru menjadi bagian paling rumit dalam hari-hari kita semua. 

Bukanlah rasanya melelahkan berbaring seraya dicecoki jutaan kisah memalukan yang terjadimenahun lalu, atau kisah-kisah bahagia yang sudah lama berakhir, atau kisah masa depan yang mungkin terlalu dini untuk dipikirkan, atau mungkin sudah terlambat.

Pokoknya, terima kasih sudah membaca sampai sejauh ini!

Sampai bertemu di episode berikutnya! 

-Livi

-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun