Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lekha (1)

17 Maret 2020   15:03 Diperbarui: 19 Maret 2020   19:59 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Hari itu, Lekha segera berlari ke rumah setelah bel tanda selesai pelajaran terakhir berbunyi. Kaina sempat menanyakan mengapa Lekhabegitu tergesa-gesa namun kaki-kaki Lekha memutuskan untuk berlari ketimbang berdiri diam di hadapan Kaina. Lekha ingin segera pulang.

Lekha ingin segera bertemu lagi dengan Sang Utusan. Satu malam sebelumnya, Sang Utusan tetiba muncul dalam dunianya. Ini pertama kalinya Lekha melihat sosok lain selain A di sana. Tidak, A tidak pernah ada di sana. 

Selama ini keberadaan A dalam dunianya hanya tercipta di ingatannya yang sering kaburkarena lelah. Sang Utusan tahu itu, ia bahkan berjanji akan membawa Lekha kembali ke hari-hari lampau, lantas bersua dengan A.

Aneh. Hari itu selama di perjalanan pulang ke rumah, kaki-kaki Lekha berlari kencang seperti dilena intensi. Ada semacam asa lain yang menyeruak, asa lain yang jauh lebih besar dari dunianya selama ini. Asa lain yang apabila dikisahkan kepada orang lain akan membuat mereka terpaksa memasukkan Lekha ke rumah sakit jiwa.

Sesampainya di rumah, Lekha memutuskan untuk langsung mencari Sang Utusan. Lekha tahu ia bisa ada di mana saja, mengingat pertemuan mereka di dunianya, dunianya yang seharusnya tidak dapat didatangi orang lain selain dirinya dan A, bahkan dengan menyusup sekalipun.

Menyusup?

Mungkinkah Sang Utusan menyusup ke kolong meja belajarnya? Lekha membungkukkan badannya, mencari-cari Sang Utusan di kolong mejabelajarnya, tetapi nihil. 

Lekha mulai mencari Sang Utusan di dalam lemari pakaian. Ia membuka pintu lemarinya perlahan, namun semua pakaiannya tumpah kelantai. Lekha menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang Utusan tidak mungkin bersedia masuk ke dalam tempat sekacau itu. Ia pun menutup kembali lemari pakaiannya.

Lekha hendak memutuskan untuk mencarinya di halaman loteng, mungkin Sang Utusan sedang memetik bunga, sebelum akhirnya menyadari ada yang janggal di kamarnya. 

Ada kursi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah kursi kayu bercat biru langit. Lekha tidak pernah membeli kursi itu, mungkinibu yang membelinya. Tapi untuk apa? Ibu tidak pernah peduli dengan kamar  Lekha. Lebih dari itu, kursi-kursi di rumah Lekha tidak ada yang rusak.

Kemudian, entah dari mana Lekha mendapatkan firasat ini, ia berpikir Sang Utusan yang meninggalkan kursi itu untuknya. Lihat saja,warnanya biru langit, persis seperti bayangan mesin waktu yang ia inginkan.

“Ibu! Ibu!” teriak Lekha sambil berlari menuruni tanggacepat-cepat, lantas menemui ibu di dapur.

Ibu sedang memasak, seperti biasanya. Ia hanya menoleh ketika Lekha tiba di hadapannya.

“Ibu, benar ‘kan yang saya katakan? Sang Utusan benar-benarada. Ia bahkan mengirimkan sebuah kursi kayu warna biru langit. Saya yakin itu adalah mesin waktu menuju masa lalu, karena ia menjanjikan akan membawa sayakembali ke masa lalu untuk bersua dengan A.”

Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum,“istirahat, Lekha.”

“Ibu ingin lihat kursi kayunya?” tanya Lekha tanpa menghiraukan perkataan Ibu.

“Kursi kayu itu milik tetangga kita, ia akan pindah ke luar kota. Ia memutuskan untuk memberikan kursi kayu itu kepada kita. Ibu tahu kamu suka warna biru, maka ibu letakkan saja di kamarmu. Sekarang, istirahatlah.”

Lekha terdiam. Kemudian kembali ke kamarnya.

***

Malam itu, ketika sudah terlelap, Lekha merasa ada tangan yang membelai rambutnya perlahan.

“Selamat malam, Lekha.”

Lekha membuka matanya. Ia langsung terduduk karena kaget. Mimpinya hancur, tetapi ia tidak semenyesal itu.

“Mengapa kamu ada di mana saja?” tanya Lekha sambil memandang sepasang mata teduh berwarna coklat tua yang ada di hadapannya, mata Sang Utusan. Entah kenapa rangkaian kalimat itu terlontar dari mulutnya,padahal ia tidak heran.

“Mengapa kamu memupuk asa di mana saja?”

“Saya kira kursi itu darimu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun