Bayangkan Anda bisa menganalisis kandungan gizi makanan hanya dengan memfoto hidangan di depan Anda. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah? Ternyata tidak. Inilah salah satu hal yang saya pelajari ketika mengikuti Coding Camp 2025 powered by DBS Foundation.
Di tengah derasnya perbincangan tentang AI dan otomatisasi, saya mulai memahami satu hal penting, yaitu menguasai teknologi AI bukan sekadar soal hafal rumus atau bisa membangun sistem yang kompleks. Esensi sesungguhnya baru terasa saat teknologi ini diterapkan untuk memecahkan masalah nyata.
NutriScore: Pelajaran dari Dataset yang Tak Sempurna
Pernahkah Anda membayangkan bisa mengetahui kandungan gizi makanan hanya dengan memotret hidangan di depan Anda? Proyek NutriScore yang saya kerjakan menjawab impian tersebut, cukup ambil foto, informasi nutrisi lengkap langsung tersaji.
Kedengarannya mudah dan menakjubkan, bukan? Namun kenyataannya, proses di balik layar jauh dari kata sederhana. Langkah pertama adalah mengumpulkan ribuan foto makanan: mulai dari bakso hingga rendang, dari gado-gado hingga soto betawi. Setiap gambar harus memenuhi standar tertentu, jernih, terfokus, dan diberi keterangan yang akurat tentang jenis makanannya.
Prosesnya mirip dengan merapikan album foto keluarga yang sudah bertahun-tahun terabaikan. Ada foto yang buram, ada yang terduplikasi, ada pula yang tersimpan di kategori yang salah. Semua harus ditata ulang dengan teliti sebelum bisa disusun menjadi koleksi yang bermakna. Hal yang mengejutkan adalah tahap inilah yang paling memakan waktu dan energi. Bukan soal membangun teknologinya, melainkan mempersiapkan fondasi datanya terlebih dahulu.
Dari pengalaman ini saya memahami satu hal penting: secanggih apa pun teknologi yang kita bangun, hasilnya hanya akan sebaik kualitas bahan baku yang kita berikan. Namun, tantangan sesungguhnya baru dimulai ketika teknologi bertemu dengan realitas tim kerja.
Dari Kode ke Kolaborasi: Pelajaran Berharga dalam Proyek Nyata
Awalnya saya mengira membangun aplikasi NutriScore hanya memerlukan satu orang yang mahir dalam pemrograman. Asumsi tersebut ternyata keliru.
Kenyataannya, proyek ini membutuhkan tim yang lengkap dan solid: ada yang mengelola data, ada yang merancang antarmuka yang menarik, ada yang memastikan aplikasi berjalan lancar tanpa gangguan. Seperti orkestra music, setiap instrumen harus harmonis agar menghasilkan melodi yang indah. Di sinilah tantangan sesungguhnya dimulai.