"Nanti bapak kasih saja ke anak-anak yang Bapak temui, ya. Karena saya nggak mungkin bawa balonnya semua."
"Beneran, pak?" aku masih terkejut. Jarang sekali orang mau memborong balonku. Lagian juga buat apa?
"Iya, ini uangnya. Ambillah semua. Anggap saja sisanya adalah uang sewa saya meminjam sarung Bapak tadi, ya."
Sambil berdiri dari duduknya, laki-laki itu memberikan segepok uang. Tertulis dari kertas yang masih melingkar. Lima juta rupiah. Saking banyaknya tanganku saja tidak kuat saat menerimanya. Tanganku gemetar.
"Jangan khawatir, itu uang halal. Memang rezeki Bapak. Sudah terima saja, ya."
Laki-laki itu menjabat tanganku, mungkin mencoba menenangkanku sekaligus sebagai tanda pamit. Tak banyak berkata, ia langsung berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan Musala. Mobil yang tidak sesederhana penampilannya.
Aku masih mematung. Rasanya benar-benar seperti mimpi, tapi ini bukan mimpi.
"Pak...bolehkah saya tahu nama bapak?" aku sedikit berteriak. Setidaknya aku bisa membalas lewat doa-doaku, batinku.
"Afifah. Ingat saja nama anakku." sepertinya ia tahu apa maksudku.
"Terima kasih, Pak!!!!"
Sebelum benar-benar menghilang di telan pintu mobilnya, laki-laki yang tidak pernah aku tahu namanya itu melambaikan tangannya padaku.