Mohon tunggu...
Lisna
Lisna Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

XI MIPA 4 SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Nenek

28 November 2020   20:46 Diperbarui: 28 November 2020   20:53 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara burung-burung di dahan pohon seakan menyambut Minggu pagi yang cerah. "Nuri.... cepat mandi lalu sarapan, Nenek sudah membuat nasi goreng kesukaanmu Nur," panggilan Nenek menyadarkanku dari lamunan. "Iya nek, sebentar," aku membalas panggilan Nenek. Aku mengambil pakaian dan menuju kamar mandi. 

Setelah mandi, aku sedikit berlari menghampiri Nenek di dapur, membuat lantai yang terbuat dari papan kayu berbunyi. Di dapur, sudah ada Nenek dan Kakek juga nasi goreng buatan Nenek yang menjadi favoritku. Kami bertiga sarapan bersama dan berbincang-bincang diselingi canda tawa, bagiku hal seperti ini saja adalah sebuah kebahagiaan.

"Ayo Nek, aku dan Kakek sudah siap nih" sahutku yang sudah berada di depan rumah, "Sabar Nur, Nenek menyiapkan bekalnya dulu," Setiap hari libur aku selalu menemani Nenek dan Kakek pergi ke sawah untuk mengurus sawah keluarga kami. Di sawah, biasanya aku duduk di saung kecil hanya bisa memperhatikan mereka yang sibuk memanen padi dan sesekali membantu. 

Kakek dan Nenek selalu penuh semangat untuk mengurus sawah walaupun Kakek sering sakit dan ketika itu, Nenek sendirian yang pergi ke sawah. Waktu berlalu dan matahari sudah sangat terik "Nuri, bekalnya dibuka atuh Kakek lapar nih, hehe" kata Kakek dengan ekspresi lucunya. Kakek dan Nenek berjalan menghampiriku di saung, aku dan Nenek hanya tertawa melihat ekspresi itu dan lekas menyiapkan makan siang untuk kami bertiga. 

Disela-sela makan siang aku berkata "Nek, padinya gemuk-gemuk ya, pasti berat deh padinya jadi nunduk, hihi" aku tertawa kecil. "Ya Alhamdulillah padinya gemuk-gemuk, padi itu semakin tua dan berisi akan semakin merunduk Nur. Nah, kita juga sebagai manusia harus seperti padi. Jika sudah kaya, pintar, sukses jangan sombong dan tetap rendah hati" ucapan Nenek membuatku  mengangguk-angguk. Di perjalanan pulang, aku teringat kembali dengan ucapan nenek tadi dan merenung .

Tidak terasa sekarang aku sudah  berumur 13 tahun dan duduk di bangku SMP kelas satu. Sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan oleh Kakek dan Nenek karena Ayah dan Ibu sudah meninggal sejak aku balita. Nenek bilang aku anak yang rajin dan pintar. Aku bertekad ingin menjadi orang yang sukses dan ingin menjadi seperti padi, akan tetap rendah hati jika sudah sukses nanti.

Pekan akhir semester tinggal beberapa hari lagi, Aku menuju kamar dan membuka tas lalu mengeluarkan buku pelajaran. Aku mempelajari materi yang akan diujikan dengan sungguh-sungguh. "Rajin sekali cucu Nenek... Bagus Nur, kamu harus selalu rajin belajar, berusaha, dan jangan lupa berdoa," tiba-tiba Nenek sudah ada disebelahku. Kata-kata itu selalu membuatku bersemangat. "Iya Nek," aku pun menoleh kearah Nenek dan tersenyum. Pekan ulangan akhir semester ku lalui dengan lancar dan penuh semangat berharap nilai yang akan ku dapatkan memuaskan.

"Nek... Nenek.... lihat nilaiku deh," aku berteriak memasuki rumah. Aku baru pulang sekolah dan mengeluarkan kertas ulangan dengan nilai yang tinggi. Tapi tidak ada suara yang membalas, aku melihat Kakek yang sakit sedang tidur dan sepertinya Nenek tidak ada di rumah, mungkin pergi ke sawah pikirku. Beberapa saat kemudian, hujan turun dengan deras membuatku cemas karena Nenek belum pulang juga. Aku memutuskan untuk menyusul Nenek ke sawah dan mengambil dua payung. Tiba-tiba seseorang memanggil dari luar. Aku pun membuka pintu, "Ya ampun, Nenek kenapa?" aku kaget melihat Nenek dengan wajahnya yang pucat dan dituntun seorang ibu-ibu, dia adalah ibu-ibu yang tinggal di dekat sawah. 

"Tadi nenekmu jatuh, sepertinya kakinya terkilir" kata ibu itu. Aku membantu untuk membawa Nenek masuk dan membaringkannya di kasur lalu membawa handuk dan baju ganti untuk nenek. Aku menatap wajahnya sambil mengeringkan badan nenek dengan handuk. Nenek menggigil akibat kehujanan, wajah yang selalu tersenyum kini tampak pucat dan matanya sayu. Ku lihat bagian kaki nenek dan mataku terbelalak melihat luka lebam membiru di kakinya "Nek, kaki Nenek lebam!" Kataku panik. Nenek hanya tersenyum "nanti juga sembuh sendiri" Ia tidak pernah mengeluh dan selalu memperlihatkan dirinya baik-baik saja. Aku bergegas mengompres kaki Nenek dengan air hangat .

 Beberapa hari Nenek demam, dan kakinya sulit digerakkan. Bibiku yang tinggal di kampung sebelah sudah membawanya ke dokter dan demamnya sembuh, namun kakinya semakin tidak bisa di gerakkan ditambah badannya juga kaku. Kini, sudah sebulan Nenek sakit dan hanya di kamar, berbaring.  Kakek sudah sehat dan kembali mengurus sawah. Aku sedang menyuapi nenek bubur. Aku tidak tega melihatnya, Nenek yang biasanya melakukan banyak hal, kini hanya tebaring lemah dikasur. 

Tanpa sadar aku meneteskan air mata. "Jangan menangis, nenek akan segera sembuh" kata nenek yang melihatku menangis. "Kamu sekarang tidak belajar di rumah ya, gara-gara harus merawat Nenek" ucapnya.  Aku menggeleng "Belajar di sekolah saja cukup kok nek," Nenek tersenyum "Nek, kenapa masih bisa senyum padahal sedang sakit" tanya Nuri heran. "Sakit itu menghapus dosa-dosa kita Nur, selama ini Nenek secara tidak sadar banyak melakukan dosa dan sekarang Nenek sedang dihapus dosa-dosanya" jawab Nenek dengan lembut. Aku menatap wajahnya yang teduh, dalam hati aku berdoa supaya Nenek cepat sembuh dan bisa makan bersama sambil tertawa.

Belum selesai aku menyuapi Nenek, Kakek pulang dari sawah dan aku meninggalkan Nenek sebentar untuk menyiapkan makan Kakek. Setelah selesai, aku kembali menghampiri Nenek, alangkah terkejutnya aku melihat keadaannya dan memanggil kakek. "Nuri... Nuri..." suara Nenek semakin melemah, "Iya Nek, Nuri disini..." suaraku agak serak karena menangis. 

"Nuri, Kakek, maafkan nenek ya... Nuri ingat pesan-pesan nenek selama ini kan? jangan lupakan itu ya... Jadilah manusia yang berguna Nur," Setelah itu nenek menatap Nuri dan Kakeknya, Kakek berusaha menahan tangis dan menuntun Nenek mengucap syahadat. Nenek sudah pergi dengan tenang sekarang. Dunia seakan sudah berakhir bersama kepergian nenek, orang yang teramat aku sayangi sudah kembali kepada Tuhannya.

Sore itu juga Nenek dikuburkan, semua kerabat dan tetangga ikut mengantar. Aku masih belum percaya Nenek sudah tiada. Banyak kenangan berputar di otakku dan bayangan wajah Nenek yang tersenyum sangat cantik. Aku berusaha mengikhlaskannya dan bertekad melanjutkan hidup dengan semangat dan selalu mengingat pesan-pesan nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun