Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cerita dari India, Ibu Pengganti yang Mungkin Takkan Tergantikan

18 Desember 2019   17:34 Diperbarui: 19 Desember 2019   14:46 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surrogate Mother (Sumber: SputnikNews)

Hubungan romansa manusia selalu menarik untuk dibahas terutama jika sampai pada keinginan mendapatkan keturunan biologis/buah hati sebagai manifestasi dan bukti cinta itu. 

Namun, tanpa hubungan romansa pun, keinginan untuk memiliki keturunan biologis itu di zaman ini bukan tidak mungkin diwujudkan dengan teknologi medis yang semakin maju.

Dalam ketidakmungkinan maupun ketidakmampuan untuk melahirkan keturunan biologis, teknologi kedokteran telah menemukan cara yang dikembangkan melalui bantuan teknologi reproduksi atau Assisted reproductive technologies (ARTs) melalui In-vitro fertilization (IVF) atau dalam bahasa kita lebih dikenal dengan istilah bayi tabung. 

Keberhasilan uji coba teknologi ini pada hewan pertama kali dipublikasikan ke masyarakat pada pertengahan tahun 1930-an. Dan pada bulan Juli, 1978, anak manusia pertama kali lahir di Inggris melalui teknologi IVF ini.

Tentu saja banyak komentar, kritik, dan perdebatan yang mengiringinya. Kritik keras dialamatkan pada para ilmuwan karena mereka dianggap mempermainkan Tuhan dengan rekayasa "penciptaan" manusia. Namun, teknologi terus berkembang karena manusia lah yang merasakan manfaatnya. 

Diskusi pada aspek etis masih berlangsung sampai saat ini, misalnya sehubungan prosedur medis terkait dengan batas usia, kepemilikan gamete dan embryo, preimplantatory genetic diagnosis. Hal-hal yang disebutkan ini juga berkelindan dengan isu etika dan juga agama seperti IVF pada orangtua tunggal/perempuan single, pasangan LGBT, egg sharing/donation, dan yang cukup banyak dibahas adalah surrogacy atau Ibu pengganti.

Diskusi tentang IVF dalam perspektif etika dapat dibaca lebih lanjut di artikel ini.

Surrogacy/ibu pengganti (catatan: saya akan menggunakan dua istilah ini secara bergantian) dalam tulisan ini, berangkat dari artikel yang saya baca tentang rancangan undang-undang (RUU) Surrogacy yang sedang dibahas di India. 

India salah satu negara yang membolehkan praktik surrogacy, namun baru-baru ini rupanya mereka mencoba merevisinya dengan pembahasan RUU ini.

Tentang surrogacy sendiri, menurut sumber di sini, secara singkat ada dua jenis: traditional dan gestational. 

Metode tradisional adalah ibu pengganti secara buatan/rekayasa medis dibuahi dengan sperma calon ayah atau pendonor. Anak yang dikandung dan dilahirkan secara genetik berhubungan dengan ibu pengganti ini dan juga si ayah atau pendonor. 

Sedangkan gestational, telur diambil dari perempuan atau pendonor kemudian dibuahi dengan sperma calon bapak atau pendonor. Telur yang telah dibuahi atau embrio bayi kemudian dipindahkan ke ibu pengganti untuk kemudian dikandung dan dilahirkan. Si anak yang dilahirkan melalui cara ini secara genetik berhubungan dengan perempuan yang mendonasikan telurnya dan si bapak atau pendonor sperma, tidak ada hubungannya dengan si Ibu pengganti.

Metode tradisional lebih kontroversial dibandingkan gestational karena hubungan biologis antara ibu pengganti dengan si anak sehubungan dengan hak asuh anak dan juga aspek hukum lainnya. Untuk itu, banyak negara yang mengizinkan surrogacy, namun melarang keras kompensasi di luar urusan medis dan juga administrasi kontrak.

Praktik surrogacy ini sungguh menggelitik rasa kemanusiaan. Di samping karena telah dianggap sebagai sumber ekonomi, sumber kehidupan yang lebih baik dan ladang bisnis di negara yang mengijinkan. 

Namun di sisi yang lain, metode ini merupakan pembuktian semakin tingginya teknologi medis yang diciptakan manusia. 

Hal ini, pada saatnya, mungkin akan berpengaruh pada geneology/struktur keluarga yang kita kenal selama ini. Tidak ada yang tidak mungkin, tentu saja. 

Banyak cerita yang diangkat ke layar lebar dalam bentuk film dan serial drama TV tentang ibu pengganti ini. Menarik untuk menonton beberapa diantaranya. Daftar terpopulernya dapat dilihat di sini.

Surrogacy di India 
Pada bulan Oktober 2019, Neeta Lal, wartawan dan juga editor berbasis di New Delhi menulis artikel tentang negaranya, India yang berencana menerapkan larangan yang menyeluruh pada praktik surrogacy atau ibu pengganti melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Surrogacy Bill 2019 yang saat ini sedang dalam pembahasan. 

RUU ini memperketat aturan termasuk larangan untuk segala bentuk praktik surrogacy komersial (untuk kepentingan bisnis) dan akan menjatuhkan hukuman sampai hukuman mati bagi yang melanggarnya. Surrogacy ini disebut sebagai bisnis trilliunan rupiah dan menguntungkan bagi India.

RUU akan membatasi surrogacy, yang hanya diperbolehkan pada perempuan yang melakukannya dengan kerelaan tinggi untuk berkorban dan niat untuk menolong (altruistic). 

Perempuan/ibu pengganti juga harus punya hubungan kekerabatan dengan pihak 'penitip/yang digantikan'. Praktik ini hanya akan diizinkan pada pasangan India, menikah paling tidak selama lima tahun dan tidak punya anak sehingga tidak ada pilihan lain selain dengan surrogacy. 

Arah RUU juga memperjelas larangan pasangan LGBT untuk memiliki anak melalui metode ini.

Pada tahun 2002 India melegalkan praktik komersial surrogacy untuk promosi wisata medis yang kemudian membuat India dibanjiri calon orangtua dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, negara-negara di Eropa, Kanada, dan Israel. 

Mereka mendatangi rumah sakit-rumah sakit dan klinik di India untuk memilih ibu-ibu pengganti bagi calon bayi mereka. 

Terdapat kurang lebih 3000 rumah sakit dan klinik yang melayani ini. Kementerian Kesehatan India sempat merevisi kebijakan pada tahun 2015 yang melarang surrogacy untuk warga asing/foreigners. Walaupun pelarangan ini tidak sepenuhnya menyurutkan praktik ini.

Banyak calon orangtua yang memilih India karena biaya yang sangat terjangkau. Di Amerika, biaya surrogacy pada kisaran antara $70,000 sampai $150,000 (900-an juta sampai hampir 2 milyar rupiah). 

Bandingkan di India, dari $20,000 sampai $60,000 (200-an juta lebih sampai 800-an juta) tergantung klinik dan layanannya. 

Berapa banyak yang diperoleh si ibu pengganti? Mereka mendapatkan kurang lebih $5,000 sampai $16,000 (60-an sampai 170-an juta) tergantung lokasi dan kesepakatan-kesepakatan lainnya yang termaktub dalam kontrak. Diperkirakan 2000-an bayi warga asing lahir di India melalui ibu pengganti setiap tahunnya.

RUU yang sedang dibahas ini memancing perdebatan di India. Pemerintah India mengatakan bahwa tujuan dari RUU ini adalah untuk mencegah eksploitasi perempuan surrogate oleh para broker dan klinik. 

Kelompok bioethics dan juga feminist mendukung rencana pemerintah ini karena menjual kehamilan sebetulnya praktik yang tidak manusiawi, jelas-jelas terdapat unsur perdagangan manusia. 

Pendapat ini diperkuat dengan demi mendapatkan uang, perempuan surrogate sering tidak mempedulikan dampak kesehatan reproduksi, misalnya implan dari banyaknya embrio, operasi caesar yang berulang dan praktik yang sembarangan dengan penanganan seadanya. 

Banyak kematian yang terjadi. Banyak cerita mengerikan tentang ini. 

Salah satunya cerita perempuan berusia 21 tahun mengandung bayi kembar pesanan dan ia telah merencanakan untuk melayani tiga pesanan yang lain. Kandungan betul-betul menjadi modal, alat produksi dan sumber ekonomi utama. 

Belum lagi para perempuan muda, ibu pengganti ini bersuami dan juga melahirkan anak-anak dari suami mereka. Cerita lebih lengkap dapat dibaca di sini.

Sedangkan dari sisi berbeda, kelompok pendukung surrogacy berpendapat, melarang surrogacy untuk kepentingan bisnis hanya akan melahirkan pasar gelap serta potensi terjadinya praktik perdagangan manusia yang lebih besar di wilayah perbatasan/lintas negara seperti dengan Thailand, Nepal dan Kamboja. 

Risiko besar lainnya adalah para 'penitip'/klien warga asing akan menelantarkan bayinya karena landasan hukum yang lemah. 

Tahun 2008 pernah terjadi kasus yang menarik perhatian publik sangat luas. Bayi berumur dua minggu, asal Jepang, menjadi terlantar karena orangtuanya bercerai pada masa kehamilan ibu pengganti. 

Sang calon Ibu menolak untuk menerima si bayi. Mahkamah Agung India lalu memberikan hak asuh kepada nenek dari pihak ayah setelah proses peradilan yang panjang dan lama termasuk ijin untuk keluar dari India. 

Kasus ini akhirnya selesai setelah pemerintah Jepang mengeluarkan visa satu tahun untuk bayi perempuan ini atas nama kemanusiaan. 

Kisah ini memberikan pembelajaran sangat penting dan juga tuntutan dari publik untuk kerangka hukum yang kuat untuk pengingkaran janji kontrak seperti ini.

Bagi kelompok feminis pendukung, melarang surrogacy juga berarti menafikan hak perempuan atas tubuhnya dan juga dapat memiskinkan mereka kembali. Sebab melalui cara itulah perempuan miskin di India hidup dan keluar dari kemiskinannya. 

Pendapat mereka diperkuat, dari sisi teknis, perempuan pengganti akan berkonsultasi dengan pasangan dan keluarga sebelum melakukannya. Jadi apakah ada masalah dengan itu? Artinya perempuan melakukan dengan kesadaran penuh.

Persoalan ini memang terdengar semakin kompleks karena melibatkan juga hukum lintas negara. Pada tahun 2012, ketika India pertama kali melarang surrogacy untuk pasangan LGBT, para agen/klinik kesuburan tetap menerima untuk melayani jasa ini dari seluruh dunia. 

Klien (laki-laki gay) mengirimkan sperma yang dibekukan ke Delhi yang kemudian digunakan untuk membuahi telur dari pendonor di India. 

Embrio yang jadi secara hukum menjadi milik laki-laki gay ini yang kemudian ditanam ke perempuan/Ibu pengganti di India. Untuk menghindari hukum, agen/klinik memindahkan ibu hamil ini ke luar India seperti Nepal untuk melahirkan dan menyerahkan si bayi kepada si pemesan/klien.

Pasti tidak ada jawaban yang sederhana dari fenomena ini. Melarang surrogacy mungkin bukan sepenuhnya menjawab persolan terutama pada persoalan kemiskinan. Kematian bayi yang dilahirkan di luar surrogacy juga besar di India. 

Menurut Bank Dunia, India berada di urutan 129 dari 184 negara untuk kematian ibu melahirkan dan berada di urutan 145 dari 193 negara untuk kematian bayi yang dilahirkan.

Saya mengamini perhatian penulis pada dampak kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perempuan yang melakukan praktik ini. 

Juga keterlibatan secara kejiwaan selama proses kehamilan yang tentu saja berdampak jangka panjang pada kehidupan perempuan, karena pada kenyataannya yang melakukan praktik ini sebagian besar para perempuan muda. 

Belum lagi isu yang terkait dengan penyakit dan juga bisnis yang melibatkan jaringan internasional. Terbayang, betapa rentannya para perempuan-perempuan muda ini, seperti cerita yang disinggung di atas. 

Mungkin Anda bertanya, mengapa India bisa mengizinkan praktik surrogacy ini? Respons manusia terkait dengan kelahiran, hidup dan kematian sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan. Agama yang paling banyak dianut di India adalah Hindu. 

Hindu termasuk agama sangat liberal terkait dengan bantuan teknologi reproduksi (ART). Hindu setuju hampir semua teknik reproduksi hasil temuan medis namun mensyaratkan oocyte dan sperma yang digunakan dalam prosedur ini (lebih baik) berasal dari pasangan yang menikah. 

Hindu juga menerima konsep donasi sperma namun pendonor harus berasal dari lingkungan kerabat atau masih ada hubungan keluarga. Pengguguran kandungan tidak dilarang dan juga adopsi anak dari keluarga besar merupakan praktik yang biasa dilakukan. 

Untuk itulah, India memperbolehkan praktik ini berjalan. Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca di artikel ini.

Mengakhiri tulisan ini, dengan semakin banyaknya pengalaman dan pembelajaran, sudah semestinya ada kebijakan yang lebih baik untuk memberikan perlindungan terutama untuk memastikan hak-hak perempuan dan juga anak terlindungi. Karena mereka lah masa depan kita sesungguhnya. 

Membaca kisah dan pengalaman para ibu pengganti yang tersisa hanya perih. Selalu ada pengecualian pada praktik seperti ini namun tidak untuk tetap terjaminnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak manusia yang paling mendasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun